wartapolitik.id – Eko Prabowo tak pernah mengira, ulah isengnya berbuah penjara. Lelaki yang berprofesi sebagai satpam ini ditangkap Bareskrim Polri pada 19 september 2017.
Prabowo dijerat Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45B Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Setelah pada 2014 silam, mengedit foto Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menjadi tidak senonoh. Lalu mempostingnya di halaman facebook pribadi.
Era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, empat mahasiswa ditangkap setelah berunjuk rasa di Jalan Diponegoro, Cikini, Jakarta Pusat, 17 november 2011 silam.
Mereka mahasiswa dari Jaringan Kampus ditangkap Kepolisian Sektor Metro Menteng dan digelandang ke Polda Metro Jaya, karena demo tanpa izin dan membakar poster yang bergambar Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Pasal Lama Bersemi Kembali
Polemik seputar penghinaan presiden kembali marak setelah bergulir pembahasan RUU KUHAP di DPR. Pasal lama yang dulu sudah mati kini lahir kembali.
Dalam RUU KUHAP termaktub dua pasal yang mengundang polemik, yakni:
Pasal 238 ayat (1) berbunyi, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori I.
Pasal 238 ayat (2) berbunyi, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Di barisan penguasa hadir membela, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto dan Menkumham Yasona Laoli. Menurut Hasto, ini adalah cara melindungi dan menjaga simbol negara (Presiden dan Wakil Presiden) dari pelecehan. Apalagi tutur dia, presiden dan wakil presiden merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat.
“Frame kekuasaan mengarah gaya OrdeBaru, otoritarian dan anti-kritik”
Setali tigawang dengan Menkumham, “Kita ini kan tidak mau membuat sesuatu menjadi sangat liberal sehingga orang can do anything they want atas nama kebebasan. Enggak begitu dong. Kebebasan juga perlu di-frame,” Kata Yasona Laoli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/2/2018).
Publik jadi ramai bukan hanya soal frame kekuasaan yang seperti mengarah pada gaya orde baru yang otoritarian dan anti kritik.
Tetapi juga berlawanan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.013-022/PUU-IV/2006 yang telah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebab didakwa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi oleh kepantingan orang-perorang atau golongan tertentu.
Para Penebar Tanya
Pihak oposisi menaruh curiga pada dihidupkannya kembali pasal yang sempat mati. Suara paling nyaring datang dari Wakil Ketua DPR, Zadli Zon.
Politisi Partai Gerindra ini berharap agar pemerintah meninjau kembali rencanya tersebut. Bila terus berlanjut, pihaknya menduga demokrasi akan mengalami kemunduran total dan menjadi rezim otoriter seperti Orde Baru.
“Menurut saya sih tidak perlu. Saya kira ini akan membuat kita kembali ke zaman otoritarian dan masyarakat tidak bisa mengkritik. Saya kira ini satu kemunduran total terhadap demokrasi kita,” kata Fadli seperti dilansir detikcom.
Pada asalnya, pasal penghinaan Presiden lahir kala zaman kolonial. Tujuanya melindungi martabat Ratu Belanda hari hujan kritik, serangan dan hujatan yang kerap dilontarkan anggota Parlemen Belanda ketika itu.
Ratu selaku penguasa mengunakan hukum besinya untuk menjaga singgasan. Hingga pada akhirnya lahirlah pasal ajaib ini.
Kritik keras juga dilontarkan aktifis hak asasi manusia, Haris Azhar. Menurutnya ada indikasi pasal ini dinikmati oleh personal presiden. Sebagai bentuk meredam kritikan publik kepada kinerjanya.
“Presiden pasti menikmati pasal ini. Pasal ini bisa digunakan untuk membungkam mereka yang kritis kepada Presiden,” kata Haris kepada Kompascom.
Masih lekat dalam ingatan, betapa Orde Baru begitu digdaya membungkam kritisisme publik. Seperti kata penyair Widji Tukul “kritik dilarang tanpa alasan, dianggap subversib dan melanggar aturan.”
Zaman Now orang bebas cerewet dimana saja, terutama di lini social media. Zaman Orba sedikit saja bicara, nasib buruk siap menimpa anda, masuk penjara atau hilang selamanya.
Hingga pada akhirnya reformasi melahirkan demokrasi, keterbukaan dan kebebasan. Publik semakin mudah melontarkan kritik dan koreksi bagi penguasa. Namun kadang kebablasan. Justru mengarah pada provokasi dan saling ujar kebencial.
Para Mediator Jalan Tengah
Zaman telah berubah, era millenial dengan revolusi teknologi informasi mengubah segalanya. Termasuk persepsi dan cara melakukan koreksi dan kritik yang kadang justru bernada ujaran kebencian.
Presiden atau pejabat publik jadi sasaran empuk telunjuk kritik. Dari yang sifatnya kritik kebijakan, koreksi kepemimpinan, hingga yang bernada kebencian pada personal. Ini tentu membuat resah dan gelisah dan dapat berbuah perpecahan di masyarakat.
Mantan Ketua Mahkama Konstitusi, Hukum Mahfud MD justru tak mempermasalahkan bila pasal tersebut disahkan. Asalkan unsur dan substansinya berbeda dengan yang telah dibatalkan MK pada 2016.
”Kalau sekarang unsur-unsurnya diubah boleh saja, unsur keamanan negara, kelancaran pemerintahan itu boleh-boleh saja,” kata Mahfud kepada tribunnews di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, (2/2/2018).
“Kebebasan berpendapat itu prinsip. Tapi ingat, jangan menghina dan menyerang personal”
Pendapat senada juga diutarakan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, menurutnya presiden Jokowi tidak anti kritik. Justru sebaliknya, selalu mendengar aspirasi dan masukan dari masyarakat.
Menurut Cak Imin, presiden sebagai institusi sekaligus simbol negara harus tetap dijaga nilai prestisiusnya. Bahwa untuk melindungi kewibawaan presiden sudah ada regulasi yang mengatur. Misalnya UU ITE dan SK Kapolri tentang Hate Speech.
“Coba lihat, banyak rencana yang sudah dibuat oleh menteri-menterinya, justru diveto oleh presiden setelah dikritik publik. Contohnya putusan Mendikbud soal full day school, putusan Menhub soal pelarangan gojek. Artinya presiden mendengarkan kritik. Gak benar kalau antikritik,” ujarnya kepada detikcom.
“Saya pernah jadi aktivis. Jadi paham bahwa kebebasan berpendapat itu prinsip. Tapi ingat, jangan menghina dan menyerang personal. Kritik substansinya saja. Rugi sendiri nanti, ditangkap anak buahnya Pak Tito,” ujar pria yang digadang akan mendampingi Jokowi di Pilpres 2019 nanti.
[Sumber: kompas, tempo, detikcom, tribunnews, cnnindonesia]
Discussion about this post