wartapolitik.id – Muhammad Zainul Majdi, akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) ramai dibincangkan akhir-akhir ini. Berbagai rilis survey terkait kontestasi 2019 mencuatkan namanya.
Bahkan, ada rilis survey yang menempatkan positioning TGB di atas sejumlah tokoh nasional yang sudah lebih dulu muncul dan dikenal publik secara luas.
Apa yang menarik dari sosok Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang juga hafidz Quran ini?
Dua kali perjumpaan memang belum cukup. Tapi, dua kali persuaan itu membekaskan kesan bagi saya.
Perjumpaan pertama di rumah dinas beliau di Mataram, Lombok. Kedua, gantian TGB yang balas berkunjung ke kantor Arah Indonesia di Jakarta.
Dari kedua persuaan itu, saya mengapresiasi TGB tidak seperti kebanyakan kepala daerah di negeri ini. Ia berbeda.
Waktu itu selepas isya, saya dan berapa sahabat bertandang ke rumah dinas TGB.
Mengenakan sarung, kemeja putih, peci dan sandal, dengan ramah TGB menerima kami.
Ia terlihat lebih seperti kyai di pondok pesantren daripada seorang gubernur kepala daerah. Perbincangan mengalir ditemani teh dan martabak.
TGB lebih banyak mendengar. Ia menyimak. Wajahnya tenang dan jernih. Agak larut, kami pamit.
Setelah berfoto bersama, TGB mengantar kami sampai ke halaman rumah dinas gubernur.

Saya lama terdiam di mobil yang membawa kami kembali ke Hotel Sentosa di Sengggigi. Kualitas kepemimpinan seseorang kadang cukup dilihat dari hal yang sederhana.
Yakni bagaimana ia memuliakan tamu dan memposisikan lawan bicara dengan baik. Di sini, saya paham. TGB berbeda. Itu yang membuatnya istimewa.
Sahabat saya, Dr. Viktor dari Universitas PGRI Yogya, mengiaskan TGB seperti perpaduan paripurna antara Ulama-Umara.
Saya ingat cerita sahabat saya, seorang penyair sufi, Riki Damparan Putra. Ia pernah ditelepon gurunya, Umbu Landu Paranggi , yang khusus menyampaikan pujian untuk TGB.
Umbu dikenal luas sebagai “guru” para pemikir kebudayaan di negeri ini. Umbu pewaris Kerajaan Sumba yang memilih hidup menyepi di Bali. Langka sekali Umbu memuji seorang, terlebih itu pemimpin politik.
Kata sahabat saya penyair sufi itu, hanya ada dua orang yang pernah mendapat apresiasi dari Umbu dan keduanya menjadi pemimpin di Republik ini. Pertama ialah Gus Dur, kedua adalah Jokowi.
Saya sepekat dengan Umbu. TGB layak diapresiasi. Ia berbeda. TGB adalah sedikit pemimpin di negeri ini yang tahu pada apa yang menjadi tujuannya.
Pemimpin yang Membuat Perbedaan
Saya dan Anda tentu acap bersua kepala daerah. Ada yang tidak memberi ruang orang lain beropini. Ada yang hanya ingin didengar. Ada juga yang selalu ingin menggurui dan memaksa lawan bicara menelan semua cerita kesuksesannya.
Bahkan ada mantan gubernur salah satu provinsi di Pulau Sulawesi—saat ini kembali maju mencalonkan diri—dengan enteng meminta sepatunya dicopot pembantu di depan tamu.
fitrah lahiriah manusia ialah memiliki satu mulut dan dua telinga. Karena itu, kualitas kepemimpinan sangat ditentukan oleh kesanggupan mendengar.
Pemimpin yang mau mendengar akan memosisikan rakyat tidak lagi dilihat sebagai objek, dipandang sebatas kawula sang pandito ratu, tetapi subjek zaman dan sejarah serta modalitas kemajuan.
The Art of Listening, judul buku yang ditulis Erich Fromn diunduh dalam teori kepemimpinan modern. Kemampuan mendengar sangat menentukan kelayakan seorang pemimpin, terlebih jika ia pemimpin publik.

Kesanggupan dan kesungguhan mendengar dengan hati (listening from the heart) akan melahirkan kepemimpinan yang bekerja untuk “melayani” (servant leadership), bukan sebaliknya.
Tuan Guru Bajang, hemat saya, menguasai the art of listening. Di dua kali persuaan kami, beliau hadir lebih sebagai pendengar yang baik. Perbincangan saya dengan sejumlah kalangan di Lombok pun mengindikasikan demikian.
Sejauh pengamatan saya, pesatnya perkembangan industri pariwisata di NTB dalam satu dekade ini tidak terlepas dari penguasaan the art of listening yang membuat TGB dapat mengakomodasi dan menyelaraskan beragam kepentingan.
Etos Belajar dan Bekerja
TGB mulai memimpin NTB di 2008-2013, usianya saat itu baru 36 tahun. Jauh dari riuh-tepukan pemberitaan sebagai gubernur termuda, ia mulai bekerja memerangi persoalan kronis di NTB.
Sejak 70-an, NTB terkenal sebagai “lumbung rawan pangan”.
Di periode kepemimpinan TGB, Nusa Tenggara Barat sukses bertransformasi dari wilayah “rawan pangan” menjadi wilayah “surplus beras”. Hanya selang setahun sejak dilantik, NTB meningkatkan produksi beras di atas 5 persen.
Sekira 60 kecamatan kategori rawan pangan, menurun jauh tinggal 10 kecamatan. Itu pun dalam ketegori sedang. Sepanjang 2010-2015, produksi padi NTB meningkat 36,72 persen, dari 1,77 juta menjadi 2,42 juta.
Luas panen dan produktivitas meningkat tajam. Dikonversi ke beras, produksi padi NTB di tahun 2015 itu surplus 0,8 juta ton.
Tanpar riuh-gaduh privatisasi 1 juta lahan seperti yang dibuat Pemerintah Pusat di Merauke—yang gagal itu, NTB sukses bertransformasi dari provinsi rawan pangan menjadi surplus pangan.
Bahkan, daerah dengan julukan “Pulau Seribu Masjid” ini berpotensi menjadi “lumbung pangan nasional”.

Tren sektor pariwisata NTB terus menaik signifikan. Pada 2012, arus kunjungan wisatawan ke NTB masih berkisar 1,1 juta. Di 2017 kemarin, jumlah itu sudah di kisaran 3,8 juta, melebihi target yang hanya 3,5 juta.
Ini diikuti dengan pertumbuhan investasi mencapai 22 persen, dengan nilai lebih dari 7 triliun baru di triwulan ketiga 2017.
Sistem pelayanan satu atap jadi terobosan dalam memudahkan perizinan investasi. Menariknya, pelayanan ini tidak lagi konvensional.
Ada aplikasi online dinamai SIPEPADU (Sistem Pelayanan Perizinan Terpadu) yang bisa di-download di Play Store melalui ponsel, atau pun di App Store melalui I-Phone.
Lewat SIPEPADU, investor tidak sekadar mendapat gambaran potensi investasi NTB, tetapi juga pelayanan perizinan secara online yang bersifat terpadu.
Menggeser ketergantungan pada industri pertambang dan menempatkan pariwisata—diikuti pertanian dan manufaktur—sebagai sektor andalan daerah jelas strategi pembangunan yang cerdas.
Di saat banyak daerah seperti Provinsi Riau dan Sumsel, termasuk Kabupaten Kutai Kertanegara masih berkutat di wacana, NTB sudah melakukan hanya dalam rentang satu dekade.
Pengembangan industri parisiwata sendiri jelas tidak mudah, terlebih di masyarakat yang agamis seperti NTB. Sumatera Barat dan Aceh tentu tidak kurang dengan potensi wisata.
Tapi, di kedua provinsi ini problem normatif membuat pengembangan industri pariwisata berjalan di tempat.
Sebaliknya, NTB berhasil dengan brand wisata syariah atau wisata halal. Sektor pariwisata NTB menyedot lebih dari 20 persen angkatan kerja.

Menyerap Inspirasi dari TGB
Banyak asumsi awal saya terbantah setelah bertemu langsung dan melihat bagaimana TGB memimpin NTB yang 90 persen penduduknya muslim.
Islam sebagai identitas mayoritas di NTB tampil sebagai daya rekat dan modalitas sosial (social capital).
Identitas ke-Islaman ditrasfer menjadi etos belajar dan kerja. Pada tahun 2015, NTB tercatat sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi, mengalahkan pertumbuhan ekonomi nasional. Ini berlanjut di tahun-tahun berikutnya.
“Ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang mencari ilmu, empat kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum.”
Agaknya, etos belajar kunci sukses TGB dalam bekerja memajukan NTB.
Di dua kali pertemuan kami, ia begitu khusuk mendengar dan menyimak. Peraih gelar Doktor dengan predikat Martabah El-Syaraf El Ula Ma’a Haqqutba atau Summa Cumlaude dari Al-Azhar, Kairo Mesir ini tipikal pemimpin yang selalu ingin belajar.
Tipikal pemimpin yang mengubur cerita kesuksesannya di dalam sikap yang rendah hati.
Jakarta, 10 Februari 2018.
AGUS HERNAWAN, Direktur Arah Indonesia Institute
Discussion about this post