Nama A. Muhaimin Iskandar makin santer jadi sorotan publik. Pria yang akrab disapa Cak Imin ini digadang-gadang sebagai kandidat terkuat calon wakil presiden.
Banyak pihak menilai siapapun yang mengandeng Cak Imin akan berpeluang besar memenangkan Pilpres mendatang. Cak Imin dinilai piawai dalam positioning politik dan menjadi tokoh paling berpengaruh di kalangan Muslim Indonesia.
Kepiawayan Cak Imin tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui proses panjang amat berliku. Hingga sampai pada keputusanya maju sebagai Cawapres di pilpres 2019.
Sikap tersebut tentu telah melalui pertimbangan matang dan persiapan yang cukup. Terlebih banyak desakan dari warga Nahdiyin agar Cucu pendiri NU tersebut maju dalam kontestasi nasional.
Konsekuensinya adalah Cak Imin harus membekali diri dengan modal yang cukup agar mampu merealisasikan niat tersebut. Berikut ini modal utama Cak Imin maju di pilpres 2019 mendatang:

Modal Personal
Perjalanan politik Cak Imin dirintis dari bawah dan penuh kerjakeras. Ia memulai dengan menjadi aktivis, pengurus partai, anggota dewan, hingga menduduki posisi menteri. Sosok ini menjadi panutan politik bagi kader PKB dan sebagian besar warga NU.
Lahir di Jombang, Jawa Timur 24 Sepetember 1966. Ayahnya adalah Muhammad Iskandar, guru di Pondok Pesantren Manbaul Ma’arif, Jombang, Jawa Timur. Kakeknya adalah KH Bisri Syansuri, Ulama kharismatik pendiri Nahdatul Ulama sekaligus Pejuang Kemerdekaan.
Cak Imin sudah terkenal aktif di Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sejak masih kuliah di UGM hingga menjadi Ketua PB PMII pada 1994-1997. Ketika berusia 33 tahun terpilih menjadi Wakil Ketua DPR RI 1999-2004 dan 2004-2009, termasuk pimpinan termuda di DPR.
Pada masa pemerintahan SBY dipercaya Menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2009-2014). Cak Imin mejadi Ketua Umum PKB sejak 2008 hingga sekarang.

Modal Sosial
Cak Imin memiliki modal sosial yang sangat kuat. Dengan latarbelakang sebagai seorang santri dan cucu dari pendiri NU membuatnya punya tempat istimewa di hati para Nahdiyin.
Kaum Nahdiyin juga mulai melek/sadar politik, sehingga sudah punya cara pandang sendiri dan positioning politic dalam setiap perhelatan politik dan kehidupan berbangsa-bernegara.
Secara organisatoris, Nahdatul Ulama (NU) merupakan Ormas Islam tertua dan terbesar di Indonesia. NU memiliki jaringan sampai di level terkecil masyarakat dan ikatan sosial-kultural yang sangat kental dan mendalam.
Hasil Survey Alvara Research Center pada 2016 menemukan jumlah warga Nahdiyin mencapai 69,3 persen atau setara 166 juta jiwa. Tentu ini sebuah kekuatan yang sangat menentukan dalam pilpres nanti.

Modal Elektoral
Selama kepemimpinan Cak Imin, PKB menjelma menjadi partai modern yang disiplin, terstruktur dan sistematis. Kepemimpinan dan tangan dingin Cak Imin pada akhirnya mampu mendongkrak posisi PKB menjadi salah satu kekuatan politik yang paling diperhitungkan dalam pentas nasional.
Terbukti di Pemilu 2014, PKB mendapat suara terbanyak ke-lima dengan 11.298.957 suara (9,04 persen). Sebuah pencapaian istimewa karena PKB hanya memperoleh 5.146.122 suara (4,94 persen) pada 2009. Sementara kursi DPR RI berjumlah 47 kursi atau sudah melampau ambang batas parlementary threshold.
Indikator lain adalah pencapaian positif PKB, yaitu pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Pada pilkada 2015, dari 264 wilayah, PKB menang di 140 wilayah.
Dan pada pilkada 2017, dari 76 wilayah, PKB menang di 40 wilayah. Praktis PKB memiliki afiliasi politik kewilayahan (Kepala Daerah) dia 180 wilayah.

Modal Momentum Politik
Momentum politik adalah kombinasi dari moment historis, dinamika aktual dan orientasi kolektif. Momen politik tidak terjadi begitu saja dan tidak berada di ruang hampa, ia membutuhkan kecakapan aktor dalam positioning, timing dan akselerasi dalam setiap babak.
Saat ini tokoh yang paling mampu membaca momentum politik dan mampu melakukan akselerasi-positioning adalah Cak Imin. Karena hal ini berkaitan erat dengan posisi aktor dalam rotasi kepemimpinan nasional yang cenderung bersifat siklis.
Bila kita memperhatikan siklus kepemimpinan nasional, maka ada tiga aktor (political group) yang paling dominan yaitu Nasionalis-Militer-Ulama.
Era Revolusi, kita dipimpin oleh tokoh Nasionalis. Orde Baru oleh tokoh Militer. Era Reformasi, kita dipimpin oleh Tokoh Ulama. Pada Masa Transisi, presiden kita tokoh Perempuan Nasionalis.
Dekade 2004-2014, kepemimpinan nasional ada pada tokoh Militer. Dan pada periode 2014-2019 kita dipimpin oleh tokoh Nasionalis.
Selanjutnya giliran tokoh Ulama/Santri. Lantas siapa yang akan digandeng tokoh Nasionalis dan Militer pada Pilpres 2019 nanti?

Modal Kultural
Arus modernisasi, masifnya kapitalisasi dan perang yang berkecamuk di Timur-Tengah melahirkan paham radikalisme. Organisasi radikal trans-nasional tumbuh subur di Indonesia. Sehingga muncul kecemasan kolektif akan kedamaian dan keutuhan nation-state.
Secara Keagamaan paham radikalisme dengan berlatar belakang agama sudah ditolak oleh Nahdatul Ulama dengan Islam Nusantara sebagai cara pandang dan jalan hidup beragama-berbangsa-bernegara Umat Islam Indonesia. Islam Nusantara adalah resolusi yang otentik umat Islam Indonesia yang kini mulai menginspirasi negara-negara Islam lainya.
Islam Nusantara bisa kita maknai sebagai sebuah produk Keilmuan dan Kebudayaan. Agar dia menjadi rahmatan lil alamin dibutuhkan sebuah produk kebijakan, salah satunya lewat jalan politik.
Para Ulama merumuskan Islam Nusantara yang berasal dari jatidiri ke-Islaman dan Kehidupan masyarakat Indonesia, maka selanjutnya tugas santri adalah memperjuangkan-nya dalam medan politik kenegaraan.
Bila merujuk pada personality, positioning politic, strategi branding personal, dan segmentasi pemilih, maka wajar kiranya Cak Imin muncul sebagai Tokoh Muslim dengan elektabilitas tertinggi. Sehingga layak maju sebagai Cawapres di 2019 mendatang.
Discussion about this post