Wartapolitik.id – Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai aksi teror di Mako Brimob dan Surabaya sama sekali tak berkaitan dengan molornya pembahasan revisi UU tentang Terrorisme. Menurut Fadli tidak ada jaminan bahwa pengesahan RUU Terorisme akan serta-merta membuat aksi teror berkurang.
“Terus apakah nanti kalau sudah ada UU disahkan tidak ada lagi teroris?” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 15 Mei 2018.
Fadli menilai Polisi sudah memilki landasan hukum pemberantasan terorisme dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Baca Juga :
- Rivalitas PAN-PKS Dibalik Tagar #2019GantiPresiden
- Jokowi : Elektabilitas 60.6 persen, Kepuasan Publik 71.2 persen
“Bukan terorisme ini terjadi karena UU-nya belum selesai. Ini otaknya dimana? Terorisme ini adalah kejahatan extraordinary yang harus kita hadapi bersama. Undang-Undangnya sudah ada,” beber Fadli.
Politikus Partai Gerindra justru menilai tidak ada korelasi antara aksi teror dengan UU. Iya justru menuding pemerintah gagal memberikan rasa aman terhadap warga negara.
“Saya kira ini cara berpikir kita harus kita benahi lah. Pemerintah telah gagal melindungi warga negaranya terkait rentetan aksi teror di Surabaya,” ucap dia.

Nasib RUU Terorisme
Aksi sabotase napi tororisme di Mako Brimob dan teror bom di Surabaya menyadarkan publik agar penindakat terhadap aksis teror dapat dilakukan secara masif dan menyeluruh. Sementara pemerintah (Polri) merasa perlu adanya payung hukum agar penindakat bisa berjalan optimal.
Rangkaian peristiwa teror tersebut membuat Revisi UU No.15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang semapat tertunda selama dua tahun harus segera disahkan.
“Pemerintah sudah ajukan pada Februari 2016, artinya sudah dua tahun dan saya perintahkan untuk diselesaikan secepatnya dalam sidang berikut 18 Mei mendatang,” perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (14/5/2018).
Kapolri Jenderal Tito Karnavian berharap revisi UU Antiterorisme dipercepat. Menurut Tito keberadaan UU menjadi payung hukum sekaligus legitimasi bagi Kepolisian dalam memberantas dan mencegah aksi terorisme.
Baca Juga :
- Data & Fakta : Tenaga Kerja Asing Zaman Jokowi
- Petinggi Muhammadiyah Protes Politisasi Umat Ala Alumni 212
“Saya sudah sampaikan, semua kegiatan ini (teror) adalah jaringan Jemaah Asharut Dauhlah. Saya berani menunjuk hidung, karena sudah tiga empat tahun kita melihat perkembangan dari kelompok jaringan ini,” kata Tito di Mapolda Riau, Kamis (17/5/2018).
Tito Keterlambatan pengesahan juga ikut membatasi langkah Kepolisian di lapangan. “Itulah yang menyebabkan, kita meminta dari semenjak dua tahun lalu, kita sudah mempersiapkan draf revisi UU-nya, sudah dibahas di DPR. Kita berharap secepat mungkin revisi,” kata Tito.
Presiden Joko Widodo menyampaikan agar DPR segera melakukan percepatan pembahasan dan pengesahan UU Terorisme. Bila pada bulan Juni belum juga selesai maka Presiden akan menerbitkan Peraturan Perundang-undangan (Perppu).
“Menindaklanjuti dari ancaman ini saya ingin agar Rancangan UU Antiterorisme ini segera dikejar ke DPR. Kalau Juni pada akhir masa sidang belum selesai saya akan keluarkan Perppu,” kata Jokowi dalam Rapat Kabinet Paripurna membahas persiapan Lebaran di Istana Bogor, pada Senin (29/5/2017) seperti dikutip Antara.

Tiga Substansi RUU Anti Terorisme
Keterlambatan pengesahan RUU Terorisme diduga karena adanya persepsi berbeda antara pemerintah dan DPR terutama mengenai definisi terorisme. Menurut DPR, tindakan terorisme perlu memuat unsur tujuan ideologi dan politik. Sedangkan pemerintah menilai terorisme tak perlu didefinisikan sebagai aksi yang memuat tujuan ideologis dan politis.
Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU Tindak Pidana Terorisme, Supiadin Aries Saputra, mengatakan pembahasan revisi UU Terorisme hanya tinggal 1 pasal krusial, yakni definisi terorisme.
“Clear sudah tinggal 1 menyelesaikan ini tanggal 23 Insya Allah saya selaku Ketua Tim Perumus, 23 itu kita selesai karena tinggal itu saja definisi,” kata Supiadin di Resto Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (19/5).
Menko Polhukam Wiranto menyampaiakn bahwa definisi pemerintah soal terorisme sudah menemui kata sepakat. Karena sebelumnya masih ada perbedaan pendapat. Kesepakatan tersebut bersifat akomodatif demi mencapai tujuan yang lebih besar yaitu, keamanan, stabilitas dan ketahanan nasional.
Baca Juga :
- Kemenangan Mahathir : GERINDRA dan PDIP Terinspirasi, NASDEM PAN PKB Beri Warning
- Gerakan #2019GantiPresiden Belum Ke Prabowo, Berpeluang Dukung Jokowi
“Dari pihak pemerintah sendiri memang ada perbedaan paham, tapi sudah diluruskan masalah definisinya antara pihak TNI dan Polri sehingga frasa mengenai masalah ideologi, masalah politik, masalah keamanan nasional, yang masuk dalam definisi itu sudah terselesaikan dengan cara-cara yang lebih akomodatif,” ujar Wiranto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (15/5/2018).
Wakil Ketua Pansus Revisi UU Antiterorisme Supiadin Aries Saputra menjelaskan ada tiga substansi yang membedakan pada RUU Terorisme. Yaitu sifat penindakan terhadap kejahatan terorisme, aparat yang terlibat, hingga penanganan kepada masyarakat pasca-aksi terorisme.
“Saya ingin jelaskan bagaimana perbedaan yang sangat prinsip antara Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dengan revisi undang-undang yang sedang berjalan. Undang-undang existing itu, dia bersifat reaktif, tunggu bom, tunggu peristiwa, tunggu korban terjadi baru bertindak. Karena selama ini aparat tidak punya payung hukum untuk menghadapi, menindak gejala-gejala yang ditimbulkan para terduga teroris,” kata Supiadin Aries Saputra pada diskusi Polemik MNC Trijaya FM yang bertema ‘Never Ending Terrorist’ di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (19/5/2018).

Aparat keamanan dapat bertindak cepat dengan menindak oknum yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme tentu dengan bukti permualaan yang cukup sesuai dengan KUHP. Penindakan ini juga melibatkan kekuatan Kepolisian (Densus 88) dan TNI (Detasemen Gultor Kopassus).
“Kita tahu Polri itu berkali-kali minta bantuan TNI. Sekarang secara resmi pemerintah, Presiden sejak bom kemarin ini minta (TNI) dilibatkan. Detasemen Gultor Kopassus lahir duluan sebelum ada Densus 88. TNI kita mampu mengatasi pembajakan pesawat, kapal laut di sekitar laut Afrika,” ujar Supiadin.
Sebelumnya Kepolisian (Densus 88) menjadi aktor utama dalam pemberantasan terorisme, meskipun pada praktiknya kepolisian banyak meninta bantuan dari TNI. Lewat pengerahan RUU terorisme ini maka TNI (Detasemen Gultor Kopassus) diberi payung hukum untuk terlibat bersama Kepolisian dalam penangan terorisme.
Selain itu juga memuat tentang penanganan pasca aksis teror. Terutama kepada para korban bom agar menjadi tanggung jawab negara. “Undang-undang ini kita lengkapi dengan bagaimana penanganan pascabom seperti memberi santunan dan lain-lain. terang Supiadin.
[WP-05: antara, kompas, cnnindonesia, detikcom]
Discussion about this post