Oleh AGUS HERNAWAN*
Sehari sebelum digelar KLB Deli Serdang, saya menulis: Moeldoko akan merangsek maju. Ia akan menduduki kursi panas Ketua Umum Partai Demokrat. Dan, ketika itu, ia tengah membesarkan AHY. Di tulisan ini, saya perlu menambahkan: “KLB adalah satu cara bagaimana seorang senior TNI mendidik yuniornya”.
Pasca-KLB, AHY menjadi sangat “militan”. Kini, elektabilitas AHY melambung. Posisi AHY, berdasarkan survey Arah Indonesia (Arindo) berada di lima besar. Kalah tipis dari Anies. Prabowo kokok di puncak. Diikuti Ganjar dan Ridwan Kamil. Menyusul Anies dan AHY. Survey Indonesia elections and Strategic (IndEX) lebih tinggi lagi. AHY di urutan empat besar.
KSP Moeldoko—satu penyebutan oleh SBY yang dibenci Nyabalin—sesungguhnya menolong SBY. Moeldoko menyadarkan AHY. Pemimpin itu tidak diwariskan, tapi dilahirkan. Lahir dari proses, meminjam ungkapan Tan Malaka: terbentur, terbentur dan terbentuk. Moeldoko telah mengeluarkan AHY dari istana emasnya. Membentangkan medan pertempuran buatnya.
“Kau tak akan meraih kemenangan apa-apa di balik istana emas itu, Gus. Rebut kemenangan. Bertempurlah. Karena itulah takdirmu: seorang prajurit, anak seorang prajurit, dan cucù seorang prajurit.”

Di Manakah Posisi Moeldoko?
Sebelum KLB, saya menduga, Moeldoko akan kepayahan. Itu terbukti. Publik mencela. Mayoritas tokoh, baik kawan pun lawan menilai sumbang. Ia dianggap kasar, tak beretika, memalukan dst. Tapi, dugaan saya, bahwa Moeldoko akan kehabisan nafas dan tenggelam sangat mungkin keliru.
Belum ada tokoh, pasca-Reformasi, melakukan war of position seberani Moeldoko. Ini harus diakui. Apa yang dilakukan Moeldoko ialah War of position yang “mutualis” sifatnya. Elektabilitas AHY kini melambung.
Di sisi yang lain, kisruh Demokrat membuat parlemen hanya menyisakan PKS sebagai oposisi. Jokowi menjadi presiden terkuat sepanjang Reformasi. Penguasaan mayoritas parlemen dilakukan Jokowi hanya dalam kurung waktu kurang dari satu dekade. Bahkan, sampai saat ini, setelah Soekarno, berikutnya adalah Jokowi: presiden sipil terkuat dalam sejarah Republik.
3 periode yang hadir sebatas wacana, kini, sangat mungkin dieksekusi. Pada titik ini, wajar jika respon Jokowi datar-datar saja saat tahu Moeldoko mengkudeta Demokrat. Kepada Moeldoko, Jokowi layak berterima kasih. Dan, tentu juga mantan Presiden SBY atas melambungnya elektabilitas AHY. Lantas bagaimana dengan Moeldoko sendiri?
Moeldoko adalan panglima Perang SBY. Saat ini, di balik seragam KSPnya, ia sesungguhnya tetap dengan peran yang sama. Ia adalah tentara tempur. SBY tentu sangat tahu itu. Begitu pun Jokowi.
Dalam pertempuran, untuk meraih kemenangan besar dibutuhkan pengorbanan besar. Ini jamak. Tapi ada kala kemenangan besar diraup dari sedikit keluar keringat. Nararya Sanggramawijaya atau Raden Wijaya melakukan itu. Memukul Katwang dengan tangan Mese dari Mongol. Lalu, meniupkan candu kemenangan yang bikin Mese mabok.
Musuhmu, percayalah, sekuat apa pun akan lemah saat pesta. Lemah karena lengah. Mabok kemenangan adalah liang kubur yang digali sendiri oleh Katwang dan Ike Mese. Karena itu, seorang Gajahmada memilih jalan puasa panjang. Agar tidak lengah. Agar tidak lemah.
Dua paragrab terakhir di atas semacam tamsil saja. Semoga bisa menjawab pertanyaan pada subjudul. Politik adalah bagaimana berkuasa. selebihnya hanya gimik.
*AGUS HERNAWAN, Direktur Arah Indonesia
Discussion about this post