WARTAPOLITIK.ID—Pertanian itu nyawa bangsa, kata Bung Karno. Ucapan Presiden RI Pertama ini tentu sangat diamini oleh Presiden Jokowi. Karena itu, baru berjalan sekitar dua bulan kepemimpinannya, Presiden Jokowi sudah mencanangkan swasembada pangan.
Janji swasembada pangan itu disampaikan Jokowi pada Selasa, 9 Desember 2014 dalam acara kuliah umum di Balai Senat Balairung UGM, Yogyakarta. “Sudah hitung-hitungan, 3 tahun nggak swasembada, saya ganti menterinya,” tegas Jokowi kala itu.
Waktu berjalan. Jalan-jalan tol, bandara, dan pelabuhan dibangun di seluruh pelosok negeri, tapi swasembada pangan tak kunjung datang. Selama kurun waktu 2014 – 2020, untuk urusan beras yang jadi nyawa bangsa kata Bung Karno, Pemerintah Presiden Joko Widodo sudah mengimpor 9 juta ton beras, atau rata-rata 1 juta ton per tahun.
Baru-baru ini, kembali Pemerintah berencana mengimpor 1 juta ton beras. Rencana impor beras ini terjadi di saat Indonesia memasuki masa panen raya yang diprediksi Badan Pusat Statistik (BPS) berpotensi mengalami kenaikan sebanyak 5,37 juta ton atau 26,88 persen dibandingkan subround yang sama tahun 2020 sebesar 19,99 juta ton GKG.
Ironisnya lagi, rencana impor beras dilakukan di saat Presiden Jokowi mengkampayekan benci produk asing. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berkilah bahwa langkah impor beras diambil untuk menjawab stok beras nasional dan stabilitas harga.
“(Impor) ini bagian dari strategi memastikan harga stabil. Percayalah tidak ada niat pemerintah untuk hancurkan harga petani terutama saat sedang panen raya,” terang Lutfi, Senin (15/03/2021).
Alasan untuk stok beras nasional terkesan hanya dibuat-buat. Kenyataan di lapangan, sebagaimana disampaikan Dinas Pertanian Kabupaten Poso Sulawesi Selatan, ada sekitar 3.000 ton beras petani yang menumpuk di gudang penggilingan.
“Tidak terserapnya beras di pasaran karena tidak ada pembeli, sehingga diperkirakan ada 3.000 ton beras tertampung di gudang penggilingan padi, ujar Kepala Dinas Pertanian Poso kemarin, Selasa (16/03/2021).
Ribuan ton beras yang menumpuk di gudang penyimpanan sudah sejak Februari 2021 atau saat masa panen raya. Kepala Cabang Perum Bulog Poso Irfan Faisal telah berusaha menyosialisasikan pembelian beras petani ke pengumpul dan distributor. Bulog juga telah membeli langsung ke petani dengan HPP senilai Rp. 8.300 per kilogram. Itu pun jumlahnya hanya 100 ton.
Jika beras petani saja tidak terserap, mengapa pemerintah memaksakan impor beras? Ketua Dewan Nasional Pembaruan Agraria Iwan Nurdin dan Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS Amin AK menyampaikan kecurigaan yang sama. Ada mafia impor yang bermain.
“Mereka sudah masuk ke sistem yang besar dalam pemerintahan sehingga bisa mengatur kebijakan. Sebab, keputusan impor tidak berdasarkan fakta-fakta di lapangan,” tegas Iwan Nirdin.
Hal senada disampaikan Amin AK. “Dugaaan ada praktik berburu rente oleh rent seeker didasarkan pada adanya selisih harga beras dalam negeri dengan harga di pasar internasional yang relatif tinggi, yaitu sekitar Rp. 2.400 per kilogram.”
Dengan selisih Rp. 2.400 per kilogram dan jumlah impor sebanyak 1 juta ton, maka nilai marginya mencapai Rp. 2,4 triliun. Nilai keuntungan ini tentunya menititikkan liur siapa saja. Dan demi itu, seperti disampaikan Iwan Nurdin, setiap tahun kebijakan impor beras dilakukan pemerintah di saat panen raya.
Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog Budi Wasesa menampik usulan impor beras datang dari dirinya dan Bulog. Hal itu disampaikan Buwas dalam rapat dengar pendapat bersama Badan Legislasi DPR, Selasa (16/03/2021).
Langkah impor beras itu, seperti diungkapkan Buwas, muncul setelah pihaknya menerima perintah mendadak dari Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto.
“Kebijakan Pak Menko dan Pak Mendag, kami akhirnya dikasih penugasan tiga-tiba untuk melaksanakan impor,” terang Buwas sebagaimana dikutip dari Kompas TV.

Discussion about this post