WARTAPOLITIK.ID – JAKARTA – Sikap Jenderal TNI (Purn) Moeldoko yang menerima pinangan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat lewat Kongres Luar Biasa telah menuai polemik. Posisi Moeldoko yang menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) turut menjadi sorotan.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun turut berkomentar “Kalau presiden keep silent, artinya membiarkan saja. Beralasan bahwa ini adalah konflik internal, tapi at the same time tetap menjadikan Moeldoko sebagai KSP, walaupun secara hostile merebut atau men-take over jabatan di Partai Demokrat, maka bisa dipastikan bahwa Presiden Jokowi pun menyetujui bahkan barangkali berada di balik take over tersebut,” terang Refly dalam kanal Youtube pribadinya, dikutip pada Senin (8/3).
Menanggapi hal tersebut Aktivis 98 sekaligus Direktur Eksekutif Indeks 98 Wahab Talaohu menilai argumentasi Refly Harun terlalu konspiratif dan tidak berdasar. Wahab lantas menyampaikan 5 argumentasinya.
Pertama, Pak Moeldoko secara individu punya legal standing untuk menggunakan hak politiknya sebagai warga negara. Situasi menjadi dilematis ketika di waktu yang sama beliau menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Tetapi Pak Moeldoko tidak menggunakan dan memanfaatkan jabatannya sebagai KSP ketika mengaktualisasi Hak Politiknya”.
Kedua, Pak Moeldoko tidak melakukan “take over” Partai Demokrat sebagaimana yang sering dituduhkan. Beliau justru diminta oleh para Kader Demokrat dalam KLB Demokrat di Deli Serdang untuk menjadi Ketua Umum. Merasa dipercaya dan diberikan amanat maka beliau siap menerima itu, tidak mau mengecewakan para Kader Demokrat.
Ketiga, Pak Moeldoko tidak aji mumpung. Tidak ada indikasi abuse of power sedikit pun. Beliau tidak menggunakan jabatan dan posisinya sebagai KSP apalagi melibatkan Presiden Jokowi. Saya bisa pastikan, murni beliau bergerak sendiri secara individu tanpa sokongan politik dari Jokowi.
Kempat, tuduhan bahwa “Presiden Jokowi pun menyetujui bahkan barangkali berada di balik take over tersebut” ini juga diluar nalar dan bahkan punya konsekuensi hukum. Karena Presiden sudah sepatutnya bersikap netral dan menyerahkan ini pada mekanisme internal dan akan diuji secara hukum. Sama persis Ketika konflik PKB antara Gus Dur dan Muhaimin, Ketika itu SBY sebagai presiden juga tidak ikut campur dan menyerahkan itu pada proses hukum.
Kelima, tidak perlu ada desakan agar Moeldoko mundur sebagai KSP. Desakan ini justru yang membuat gaduh dan mendayung di air keruh. Mari kita sepenuhnya serahkan ini kepada Presiden untuk menggunakan Hak Prerogatifnya. Namun terlepas dari semua itu, saya sepenuhnya percaya bahwa Pak Moeldoko adalah seorang ksatria yang tanpa desakan pun akan secara sukarela siap melepaskan jabatanya dan akan gentleman memperjuangkan hak politiknya.
Discussion about this post