WARTAPOLITIK.ID- 2024 akan jadi panggung sejarah kaum muda. Mayoritas, hampir 60 persen pemilih di tahun 2024 adalah anak muda. Generasi Langgas ini akan jadi penentu. Ini tak bisa disanggah. Orang muda adalah pemilik masa depan.Tapi, apakah masa depan itu akan jadi milik mereka?
Ben Anderson menulis detail, dalam dan penuh simpatik bagaimana kain dwiwarna yang kini berkibar gagah di ujung tiang bendera adalah hasil dari keringat dan darah orang muda. Tapi, kemerdekaan tentu tak hanya kibar kain bendera.
Setelah revolusi kemerdekaan, ada dua patahan sejarah (Orde Baru dan Reformasi) yang menjadi melodrama tentang protes orang muda. 66 dan kemudian 98 adalah pemberontakan orang muda. Mereka turun ke jalan. Mereka mengorganisir diri. Membongkar Orde Lama dengan kekuasaan yang terpusat di satu tangan. Meruntuhkan Orde Baru yang monolitis.
Orang muda kita serupa Sisifus dalam lakon Antagone yang abadi. Setelah 66 dan 98, apakah masa depan memihak pada aktornya? Demokrasi dan keadilan yang diserukan seperti nasib aktornya, sebagian dicatat, selebihnya banyak yang dilupakan.
Di masa Orba, demokrasi tinggal di ujung sangkur kaum bersenjata. Bagaimana dengan hari ini?
Anak Muda dan Politik
Mulai hari ini sampai ke 2024 nanti, segala partai dari segala penjuru mata angin akan sibuk me”muda”kan penampilan. Bahkan, ini bukanlah lelucon, partai yang dikelola secara feodal pun ikut bersolek agar terlihat milenial. Apakah mereka hendak menangkap semangat zaman?
Tentu tidak. Mereka hanya memaknai anak muda sebatas jumlah kertas yang akan dimasukkan ke dalam kotak suara. Buat mereka, milineal itu seperti semangkuk Indomie. Dinikmati sesaat saja. Tak perlu menyelam untuk memahami apa yang dirasakan orang-orang muda ketika pikiran dan bahasa dirampas dari mereka dan menjadi proverti penguasa.
Tak ada yang bersuara untuk mereka. Bahkan, tuntutan revisi UU ITE yang ramai disuarakan orang muda ditendang dari Prolegnas Prioritas 2021. Wajarlah jika ada partai yang ber-brand orang muda, menurut hasil salah satu lembaga survei, justru tak lagi disukai orang muda. Ke’muda”an bukanlah slogan, tapi kehadiran.
Kehadiran itu pun tak sinonim dengan orang muda yang duduk dalam satu jabatan politik. Ada walikota yang diklaim termuda–tapi ternyata salah, ketika dikritik seorang anak muda, yang mengkritik segera “dijemput” polisi. Ia diam. Moment walikota itu untuk menjadi kehadiran lewat begitu saja.
Kehadiran adalah keberpihakan. Keberpihakan pada masa depan. Ada pikiran yang harus dibela. Ada bahasa, sebagaimana bunyi Ikrar Sumpah Pemuda, yang harus dijaga koneksitasnya dengan bangsa. Dengan apa yang dibayangkan, apa yang dirindukan. Bukan dengan “doeli” demi semangkuk Indomie.
(Agus Hernawan, Direktur Arah Indonesia)
Discussion about this post