
Oleh Agus Hernawan (Direktur Arah Indonesia)
Drama Demokrat sudah selesai. Jokowi, lewat putusan Kemenkumham, sudah menegaskan posisi dirinya, juga pemerintah. AHY sudah berujar terima kasih ke Jokowi. Kita menunggu ujaran yang sama dari SBY. Karena, begitulah seharusnya seorang negarawan.
Di tulisan sebelumnya, saya menguliti manuver Moeldoko sebagai “jasa” ke Jokowi dan SBY. Berikutnya, biarlah Jenderal kelahiran Kediri itu yang akan menentukan sendiri seperti apa namanya dicatat dalam sejarah perpolitikan Tanah Air. Politik acap mirip lorong panjang dengan ujung penuh ketakterdugaan. Dan, ujung itu bisa saja di Pilgub DKI.
Sikap pemerintah patut dipuji. Ini melampaui sekadar membersihkan diri dari segala tudingan. Ada warna lain. Satu pembeda. Karakter berpolitik yang mengedepankan tujuan-tujuan lebih besar, bukan balas dendam. Dan itu, mengingatkan saya pada satu nama: Megawati.
Presiden Jokowi dan Yasonna Laoly adalah kader PDI Perjuangan. Keduanya pasti ingat Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996. Saat itu, kantor DPP PDI yang dipimpin Megawati hasil Kongres Surabaya diserbu dan direbut paksa oleh Soerjadi hasil kongres Medan bersama TNI.
Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut nama SBY. Dalam rapat tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya, Kepala Staf Kodam Jaya Brigadir Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan pengambilalihan kantor DPP PDI. Sejarawan Alvi Warman Adam juga menyebut keterlibatan SBY.
Petuah loot a burning house (jarah rumah yang terbakar) cocok dilakukan saat kisruh Demokrat kemarin. Lewat kadernya yang jadi Presiden dan Menkumham, Megawati tinggal menitip kata “diterima”, selesai sudah. Mengapa tidak dilakukan? Pilihan yang diambil Mega tentu membingungkan. Dan, ini bukan kali pertama.
Saat jadi presiden, ada kesempatan Mega memukul balik lawan-lawan politiknya di masa lalu. Itu jamak terjadi. Sejarah milik para pemenang. Karena itu, tiap tegak kekuasaan baru sejarah akan ditulis dengan darah pihak yang kalah. Tapi, Mega malah sebaliknya.
SBY yang dipecat Gus Dur, dibawa kembali dalam kabinet. Didudukkan sebagai Menkopolhukam. Kabarnya, banyak elit PDI Perjuangan yang protes. Tapi Mega kukuh. Bangsa ini tak hidup untuk kesumat masa silam. Kekuasaan juga tak untuk melayani kemarahan dan nafsu balas dendam.
Tapi politik itu gelut dan gimik. Acap, ia tak memberi tempat buat hati. Serangkaian kejadian di seputar Pilpres 2004 jadi air keruh. Dari Catatan Tengah Derek Manangka, juga dari cerita Marzuki Alie soal perkataan SBY, bahwa Megawati kecolongan dua kali, kita akhirnya tahu. Dan, Moeldoko tak sepenuhnya bisa disalahkan. Ia hanya mengalu karma.
Singkat cerita, Megawati kalah di Pilpres 2004 itu. SBY (bersama JK) memenangkan kontestasi. Seingat saya, tak ada aksi penolakan dan amuk di jalanan. Bahkan kubu Mega tak mengajukan gugatan ke MK. Megawati kembali ke Tengku Umar. Menjalani darmanya.
SBY berkuasa satu dekade. Mega beroposisi juga satu dekade. PDI Perjuangan mengorganisir diri lewat kader-kader terbaik yang menjadi kepala daerah. Salah satunya, anak Wijiatno, tukang kayu di Surakarta, yang kemudian menjadi Presiden RI ke-7.
Jokowi jadi presiden, PDI Perjuangan kembali jadi ruling party. Ini kesempatan melibas semua lawan. Tapi, lagi-lagi tak dilakukan. Malah merangkul K.H Ma’ruf Amin yang jelas-jelas menolak Ahok dalam Pilgub DKI. Termasuk soal Demokrat itu. Mega seperti melulu “keliru”.
Mestinya, saat duduk sebagai Presiden RI dulu, ikutin saja desakan publik. Sebagai anak Bung Karno, sangat pantas Mega membalas perlakukan Soeharto terhadap Soekarno dan para pengikutnya. Jadikan Soeharto tahanan kota, bubarkan Golkar dan berangus semua anasir Orba.
Tapi Mega menolak. Ia memilih menyerahkannya pada proses hukum. Bahkan, ada cerita, saat Tommy Soeharto dipenjara dan Soeharto jatuh sakit, Megawati justru memerintahkan membangun landasan helipet di Nusakambangan. Tujuannya untuk memudahkan Soeharto jika ingin menjenguk Tommy.
Megawati selalu dengan pilihannya yang “keliru”. Jangan pernah memaafkan musuh-musuhmu. Habisi mereka saat terkapar tak berdaya. Begitu prinsip para penakluk. Tapi, Megawati memilih tidak jadi penakluk. Ia memilih jadi seorang ibu.
“Jangan bela kepentingan Megawati jadi presiden. Belalah kepentingan rakyat dan keutuhan Indonesia.” Seruan ini disampaikan Mega di Niti Praja Lumintang, Denpasar saat Bali digulung amuk Oktober 1999.
Saya ingat betul seruan itu. Sementara mereka yang melahap duit Bansos pasti sudah melupakannya. Padahal, menurut saya, di seruan itulah jiwa dan karakter berpolitik Mega. Apa yang jadi alasannya mengambil langkah, yang dalam prinsip para penakluk, adalah “keliru”.
Discussion about this post