Segera Batalkan UU Pilkada No 10 tahun 2016!
Hak Konstitusi Masyarakat di 2022 dan 2023 Telah Dirampas!
Sidang Pertama Gugatan Judicial Review atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2016 (Landasan Hukum Pilkada Serentak tahun 2024) telah digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Rabu siang, 9 Februari 2022 di Mahkamah Konstitusi. Gara-gara Undang-Undang No. 10 tahun 2016 ini, Pilkada serentak pada 2022 dan 2023 telah diundur menjadi Pilkada Serentak pada 2024. Melalui Undang-Undang tersebut, Menteri Dalam Negeri akan menunjuk penjabat walikota/ bupati dari pejabat eselon II b untuk bagi kepala daerah yang habis masa jabatan 2022 dan 2023 oleh Menteri Dalam Negeri. Tentu saja hal tersebut merampas hak konstitusional masyarakat Indonesia, karena dengan adanya pasal-pasal tersebut, seluruh masyarakat Indonesia tidak bisa memilih pemimpin kepala daerah secara langsung pada 2022 dan 2023.
Sidang tersebut telah menghadirkan pada penggugat, yaitu Dr. ( Can. ) Dewi Nadya Maharani S.H., M.H, Suzie Alancy Firman, SH, Moch. Sidik, Rahmatulloh,S.Pd, M.Si, Mohammad Syaiful Jihad. Para penggugat juga didampingi Kuasa Hukum Para Pemohon, yaitu DR. Sulistyowati, SH, MH, yang telah melakukan Permohonan Pengujian Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) Terhadap Pasal 1 ayat
(2), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945).
Menurut Dr. Sulistyowati, SH, MH, seluruh masyarakat Indonesia telah dilanggar hak konstitusionalnya, karena pada Pasal 201 ayat (10) UU No. 10/2016, yang berbunyi “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai
dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Tentu saja hal tersebut merampas hak konstitusional Para Pemohon, karena dengan adanya pasal-pasal tersebut Para Pemohon tidak bisa memilih pemimpin kepala daerah secara langsung.
Undang-Undang 10/2016 telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Bahwa apa yang diamanatkan dalam pasal ini merupakan bagian daripada perjanjian internasional yang Indonesia telah setujui dalam, Declaration of Human Rights, Art. 29 (2), ” Jika diterjemahkan secara bebas yaitu, “Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada: batasan seperti yang ditentukan olehhukum semata-mata untuk tujuan mengamankan pengakuan dan penghormatan yang
layak terhadap hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi persyaratan moralitas,
ketertiban umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang
demokratis.”
Undang-Undang 10/2016 juga bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Ada perbedaan efektivitas penunjukkan, legitimasi rendah, berkarir berbasis prestasi, menjalankan kewenangan terbatas, masa Jabatan singkat, “Orang” Droping pusat, pengetahuan daerah terbatas, sedangkan yang berasal dari pemilihan lebih kuat, berkarir berbasis popularitas dan akseptabilitas, menjalankan kewenangan penuh, masa jabatan lama, orang daerah menguasai penuh lokalitas.
Undang-Undang 10/2016 juga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana mungkin pemegang kekuasaan menjunjung hukum dan pemerintahan tidak ada kecualinya ketika menjalankan kekuasaan dengan merampas hak PARA PEMOHON? Apakah dibolehkan mengatakan menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan pada saat yang sama merampas hak PARA PEMOHON.
Undang-Undang 10/2016 telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemegang kekuasaan bahkan tidak memberikan kepastian hukum, kenapa? Karena PARA PEMOHON merasa hak-hak konstitusional PARA PEMOHON bisa kapan saja hilang ketika Presiden dan DPR RI Bersatu membuat undang-undang seperti yang dikehendaki meski menjadi terampas Hak PARA PEMOHON salah satunya menentukan sendiri pemimpinnya.
Para pemohon Judicial Review yang didampingi Dr. Sulistyowati, SH ini berharap para Hakim Konstitusi Menerima dan mengabulkan permohonan PARA PEMOHON untuk seluruhnya; Menyatakan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat; Menyatakan ketentuan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai yang menjadi kepala daerah adalah yang melalui proses pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung secara demokratis, menyatakan ketentuan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai penjabat kepala daerah adalah kepala daerah yang sudah dipilih rakyat sebelumnya untuk melanjutkan pemerintahan guna menyiapkan pemilihan kepala daerah 2024. Maka sebaiknya, UU No. 10 tahun 2016 ini segera dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sesegera mungkin, (WP)
Discussion about this post