Oleh: Subhan Akbar Saidi
(Peneliti Mollucas Coruption Watch, Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Unpatti Ambon)
WartaPolitik.id–Sedari awal, sejak diresmikan proyek Lumbung Ikan Nasional (LIN) polemik terus berdatangan.Ada yang setuju dan ada pula yang tidak. Semua alasan yang dilontarkan sangat argumentatif.
Ambisi yang digaungkan dengan tujuan menyelamatkan Provinsi Maluku dari jurang kemiskinan. Namun ada sejumlah rumusan masalahyang ingin saya kemukakan,Pertama; Apakah megaproyek berupa LIN dapat menekan angka kemiskinan di Provinsi Maluku atau hanya memperkaya segilintir para hirarki sosial?. Kedua; Seluruh investasi di Provinsi Maluku apakah sudah berkualitas?
PETA KEMISKINAN DI MALUKU
Data terbaru yang di publikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku beberapa bulan yang lalu menunjukan pokok soal penyebab kemiskinan di Maluku.
Presentasi penduduk miskin pada September 2021 sebesar 16.30%, menurun 1,57% poin terhadap Maret 2021 dan turun 1,70% point terhadap September 2020. Sementara presentasi pada periode Maret 2010-September 2021 mengalami penurunan baik dari sisi jumlah maupun presentasi, perkecualian pada Maret 2015 dan September 2020.
Kenaikan jumlah dan presentasi penduduk miskin pada periode Maret 2015 dipicu oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok sebagai akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak. Sementara itu, kenaikan jumlah dan presentasi penduduk miskin pada September 2020 disebabkan oleh adanya Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia.
Di antara banyak data miris tersebut, ada pijakan yang rapuh bisa menjadi representasinya. Selama Maret 2010-September 2021 angka kemiskinan hanya turun secara fluktuatif bahkan cenderung stagnan. Itu artinya, kemampuan pemerintah daerah menurunkan angka kemiskinan makin lemah dari waktu ke waktu. Anehnya, penurunan ini terjadi bersamaan dengan makin besarnya anggaran yang digunakan untuk mengatasinya. Jika ditambahkan dengan data ketimpangan pendapatan antar Kabupaten/ Kota yang menganga, maka kian sempurna problem terkait kualitas pembangunan pada beberapa tahun terakhir di Maluku.
Melalui data tersebut, kita perlu melacak apa penyebab kemiskinan di Maluku?.Keyakinan yang dirawat para ilmuwan (sosial) soal penyebab kemiskinan berpangkal dari tiga perkara: struktural, kultural, dan natural (kelangkaan sumber daya alam/SDA). Kemiskinan struktural berporos dari kebijakan (pemerintah) yang bengkok sehingga hanya segelintir pelaku ekonomi yang ikut gerbong kesejahteraan. Kemiskinan kultural berakar dari tradisi, norma, dan kebiasaan yang berlawanan dengan kemajuan/inovasi (misalnya hasrat menyerap ilmu, kultur kerja, dan semangat kompetisi).
Sementara itu, kemiskinan natural lebih banyak dipasok dari keterbatasan sumber daya ekonomi (khususnya SDA), namun pada aspek ini tidak dapat dijadikan sebagai kebenaran, sebab di Maluku memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. Atas dasar itulah wilayah Maluku menjadi prioritas pemerintah pusat untuk menggenjot investasi, dalam hal ini Lumbung Ikan Nasional (LIN).
KETIMPANGAN MEGAPROYEK LIN
Melalui Kementerian BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) seluruh kebijakan yang didorong yaitu investasi yang berkualitas, artinya investasi yang tidak berpusat pada wilayah Jawa dan Sumatera saja tetapi di wilayah Indonesia Timur pun harus menjadi prioritas sehingga pemerataan pun terjadi.
Diluar itu, adanya kebijakan yang kredibel yang disusun oleh pemerintah. Indikatornya bukan hanya terletak pada banyaknya kebijakan yang diluncurkan tetapi ketika kebijakan tersebut di produksi, pemerintah dapat memastikan berjalan di lapangan.
Problem yang terjadi di Indonesia kerapkali kita menjadi produsen kebijakan, tetapi kadangkala terjadi defisit implementasi yang disebabkan oleh mekanisme pasar bebas sehingga menimbulkan investasi yang transaksional. Alih-alih sudah berjalan megaproyek tersebut (LIN), beberapa perkara yang muncul yaitu hak-hak masyarakat (petuanan ) yang sering diabaikan akibatnya terjadi konflik sengketa lahan.
Dalam lanskap yang lebih luas, perkara pokok yang hingga saat ini menunjukan kegagalan pemerintah baik itu pusat atau pun daerah, pada kasus Investasi di Maluku, kerapkali menimbulkan ketimpangan antar masyarakat dengan pemangku kebijakan (kelompok hirarki sosial), penyerapan tenaga kerja yang sepihak (primodialisme), ketidakmandirian ekonomi yang selalu mengabaikan UMKM lokal atau BUMDES setempat.
Skema pemberantasan kemiskinan yang dijalankan sekarang mesti menyangga agenda strategis bangsa. Demokrasi ekonomi, transformasi ekonomi, dan investasi inklusif adalah akar tunjang ekonomi sehingga tiap pertumbuhan batang pendapatan tak akan dililit benalu ketimpangan. Investasi inklusif dimaksudkan sebagai upaya menghilangkan dilema dibaliknya, seperti ketimpangan, pengabaian warga, perusakan lingkungan, dan seterusnya. Investasi mesti ramah lingkungan, melibatkan warga lokal, menghargai kemanusiaan, pemerataan akses dan aset, orientasi jangka panjang, dan fokus ke benefit (people, planet, profit/benefit).
Discussion about this post