oleh : Abu Rery
(Mahasiswa Semester Akhir, Sejarah Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga)
“Bu, itu siapa ya? Nama beliau kayak pernah saya tahu. Oh iya, nama ini sepertinya pernah dipakai untuk nama jalan, tapi kayaknya udah di ganti jadi jalan mangkubumi deh.” Begitulah percakapan pembuka kawan saya, saat saya datang bertemu mereka di sebuah tempat kopi yang ada di Jogja. “Jadi ini toko pejuang juga. Orang timur yang membersamai beberapa tokoh nasional, beliau hanya anak daerah yang saat zaman penjajahan bahkan Indonesia belum ada, beliau ikut dan membersamai tokoh-tokoh bangsa semisal Samoenhudi, Tjokroaminoto dan H. Agus Salim, di Sarekat Dagang Islam (SDI) Sarekat Islam (SI) Bahkan setelah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).”
Pantas saja kumis beliau baplang gitu ya, rata-rata orang PSII itu kumisnya sama, baplang. kalau kita lihat pengikut partai Sarekat Islam dulunya memiliki ciri khas yang sama, mulai dari Tjokroaminoto sampai pengikut yang paling bawa semua mempunyai perawakan yang sama, berkumis yang melintang, ciri ini juga ada pada seorang A. M. Sangadji, kumis melintang yang membuat Kiyai Saifuddin Zuhri mengingat-ingat perjumpaan beliau dengan putra berkumis asal Rohomoni itu.
Dalam buku yang ditulis Kiai Saifuddin, beliau mengiingat-ingat betul ciri khas toko timur yang satu ini, Pak Sangadji-lah, tulis kiai saifuddin, satu-satunya pemimpin yang memelihara kumis melintang : “Potongan kumisnya, tulis Kiai Saifuddin, yang menjadi trade mark A. M. Sangadji.” Tulisnya.
Saat itu A. M. Sangadji dan Kiai Saifuddin Zuhri berjumpa dalam sebuah kegiatan yang dimana mewakili partai masing-masing, Kiai Saifuddin mewakili Partai Masyumi sementara A. M. Sangadji mewakili Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Di alun-aluun kota Madiun pada tahun 1947, Kiai Saifuddin kemudian naik menyampaikan orasi perihal penolakan Masyumi atas Perjanjian Linggarjati.
Dalam pidato yang sekitar 60-an menit itu, ada gangguan-gangguan yang rupanya datang dari kawan-kawan Partai Sosialis Indonesia (Pesindo) disana gangguan itu dilakukan oleh Soemarsono yang wafat di tanggal 8 Januari 2019 kemarin di Sydney Australai di usia 97 tahun. Beliau menganggau dengan melakukan interupsi tipis-tipis dan teriak-teriakan kecil, tetapi Kiai Saifuddin berhasil mengakhir pidato itu dengan memuaskan, beliau bisa meyakinkan rakyat yang hadir dalam rapat besar saat itu. Turunnya beliau disambut dengan tepuk tangan dan digendong ramai-ramai oleh para laskar Hizbullah.
Saat tiba giliran A. M. Sangadji, tetiba gangguan itu lebih tajam dari teman-teman Pesindo, “Brengoseee, Brengoseee, Brengosee.” Teriakan itu tak henti-hentinya datang dan menagganggu telinga A. M. Sangadji, lelaki yang mewakili partai PSII itu dengan raut wajah yang bingung menunjukan ekspresi ketidaktahuaanya atas ucapan beberapa anak-anak Pesindo ini.
Kiai Saifuddin yang membaca mimik lelaki yang kerap nanti dijuluki “Jagoe Toea” ini pun memberitahu apa yang diteriaki anak-anak Pesindo, “Kumis… kumiss!! Ucap kiai Saifuddin. “Ooo, Kumis saya ini? Kata A. M. Sangadji sambil memilin-milin kumisnya.
Sambil menatap dengan sinar mata yang tajam, A. M. Sangadji kemudian berkata: Hayo, siapa yang berani tampil ke depan terlebih dahulu? Sontak ucapana menantang Jagoe Tua itu membuat beberapa Laskar Hizbullah dan Sabililah mengelilingi podium tempat pidato A. M. Sangadji, “ Tulis Kiai Saifuddin.
Tetiba riuh-riuh yang awalnya keras menjadi hening bahkan digambarkan oleh Kiai Saifuddin seperti radio kehabisan batrai, “Mengherankan sekali, orang-orang sayap kiri tetiba tak berkutik, yel-yel mereka sekonyong-konyong berhenti, seperti radio kehabisan batrai.”
Lelaki tua ini memang tidak punya rasa takut sama sekali terhadap siapapun, bahkan kepada Belanda sekalipun. Dalam literature-literatur yang di dapat. Perlwanan beliau kepada orang-orang yang dzalim itu sudah dilakukan saat beliau masih bersekolah pada sekolah Belanda Hollandsc Inlandsche School (HIS) Perlawanan itu beliau tujukan kepada kaum bangsawan yang saat itu mendapatkan pendidikan yang layak, tetapi disisi lain pribumi tidak merasakan hal itu, beliau juga bisa merasakan bangku sekolah sebab sokongan sang ayah yang kebetulan menjadi raja pada negerinya (Rohomoni) sehingga perlawanan itu sudah ada sejak beliau kecil.
Selain menjadi tokoh yang dikenang oleh Kiai Saifuddin Zuhri, ketenaran dan kecerdasan A. M. Sangadji juga dikenang beberapa tokoh bangsa yang menggambarkan kepribadian dan watak yang sama dari seorang A. M. Sangadji. Bahkan seorang Oey Tjeng Hien atau nanti yang dikenal banyak orang dengan nama Abdul Karim Oey, sahabat bung Karno yang berasal dari padang ini juga mengakui bahwa A. M. Sangadji dan Ahmad Syurakati adalah teman beliau dalam berdiskusi, bahkan dari A. M. Sangadji dan Ahmad Syurakati inilah yang menempati posisi di hati seorang Abdul Karim Oey, sebab dari sinilah pemikiran dan rasa nasionalisme seorang Oey terbentuk.
Saya mengisahkan hal ini bukan bermaksud apa-apa hanya ingin menyadarkan kepada generasi sekarang, untuk sadar kalau Ambon itu selain kotanya eksotis, orang-orangnya suaranya itu bagus-bagus, pantainya banyak dan katanya mau dijadikan Lumbung Ikan Nasional (LIN) bagian ini Wallahu’alam bissawab ya, ya tokoh-tokoh yang berkiprah di Nasional juga banyak, mulai Dari J Kayadu, J. Latuharhary sampai A. M. Sangadji yang semua dari mereka punya kiprah yang mentereng di nasional tetapi sampai sekarang tokoh-tokoh penting ini belum mendapatkan hak mereka sebagai seorang pahlawan padahal mereka sudah banyak berjasa pada negara ini.
“Anak-anak Ambon juga sudah tahu soal beliau? Nah satu lagi yang miris dari toko-toko ini, mereka belum mendapatkan perhatian itu.” bahkan lebih membanggakan toko-toko yang pada dasarnya sudah mendapatkan hak dan sudah banyak ditulis oleh banyak orang juga, sebut saja Pattimura, bukan mau mengesampingkan seorang Pattimura ya, tetapi menurut saya seorang Pattimura ini sudah selesai, literature beliau cukup banyak di banyak artikel, kepahlawanan beliau juga sudah beliau dapatkan tapi yang muncul terus ya hanya Pattimura, sementara yang lain belum merasakan hal itu dan seharusnya juga dimunculkan.
Lalu apa yang sudah dilakukan untuk sesosok A. M. Sangadji, katanya skripsi lu, ambil soal hal ini juga ya? Nah iya, kebetulan saya mengambil A. M. Sangadji sebagai tokoh yang saya teliti, perihal kiprah beliau dari tahun 1922 sampai 1949, soal perjuangan untuk beliau sebagai pahlawan sudah dilakukan, mulai dari pengumpulan hal-hal terkait beliau sebagai pahlawan sampai sosialisasi atas kepahlawanan beliau sudah juga dilakukan, semoga saja di tahun 2022 nanti hal-hal baik yang kita ingin terkait A. M. Sangadji bisa terwujud di tahun 2022 itu, Aamiin, semoga saja begitu.
Sekilas percakapan saya dengan kawan yang coba saya rangkumin dalam sebuah tulisan ini semoga bisa menjadi teman ngopi dan bisa menyadarkan kita betapa penting untuk selalu membaca dan mengingat-ingat perjuangan para pendiri bangsa dulu. Sebab tanpa kiprah dan kerja keras mereka, mustahil bangsa yang besar ini bisa menang dalam melawan penjajah yang punya senjata dan bekingan yang kuat saat itu.
Teruslah menulis sebab menulis itu adalah bagian dari pada cara kita mengingat-ingat sejarah kita dan sejarah bangsa kita
Discussion about this post