Oleh S. Iro Radiono
Can Cu Han Cayudan ketika menulis cerita carangan “Petruk Dadi Ratu” (1932) tidak tahu secara pasti kapan sebenarnya zaman Kalatidha, zaman edan akan berlaku. Begitu pula ketika R. Ng. Ranggawarsita (1802-1873) menera “zaman edan” dimana semua serba terbolak-balik, tidak disebut pula warsa pastinya. Semua duga-kira, prediksi yang berkembang seturut zaman. Duga-kira inilah yang kemudian dipercaya sebagai selalu ada dalam setiap masa yang kehidupannya tidak tata tentrem kerta raharja, apalagi gemah ripah loh jinawi. Didukung pula adanya penguasa yang adigang adigung adiguna.
Ketika Joko Widodo seorang biasa yang lahir jauh dari pusaran kekuasaan –yang konon selalu ditentukan mereka yang lahir dan hidup di wilayah Menteng, Jakarta—merantau mengadu nasib sebagai pemimpin ibukota Jakarta lalu presiden Republik Indonesia, semua orang tercekat. Inilah Ratu Adil itu. Kita bersepakat pada harapan baru yang tumbuh mekar. “Setidaknya akan pernah ada sejarah dimana seorang yang tidak berasal dari ‘darah biru’ kekuasaan memimpin negeri ini,” terang seorang pendukungnya.
Sebagai seorang pengusaha mebel, Joko Widodo tidak hanya dikenal dengan kemampuannya jual-beli mebel tetapi juga kemahirannya memilih kayu yang lurus dan bengkok. Tak ada yang meragukan kemampuannya itu. Kemampuan yang mungkin saja lahir karena bakat, tetapi juga bisa karena tempaan pengalaman yang terus menerus. Kepiawaian politik Joko Widodo juga semakin terasah sejak menjadi Walikota Solo (2005-2012). Bukan hanya mendulang dukungan, tetapi juga kekaguman dari berbagai kalangan. Baik yang berasal dari kalangan internal partainya, maupun dari pihak luar.
Tuah Joko Widodo terbukti dengan mendapatkan suara sebesar 90,09 persen dalam pemilihan Walikota Solo 2010. Angka dukungan yang sangat fantastis. Belum menyelesaikan masa jabatannya sebagai Walikota Solo, Joko Widodo diboyong sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Berhadapan dengan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dianggap sebagai ‘anak bawang’ yang sedang mencoba peruntungan. Nyatanya Jokowi memenangkan pertarungan pemilihan kepala daerah di tempat paling dekat dengan kekuasaan di republik ini.
Karier politiknya yang semakin moncer membuka jalannya menuju kursi RI 1. Dalam dua kali Pilpres yang digelar yaitu 2014 dan 2019, Joko Widodo dengan pasangannya memenangkan kontestasi tersebut. Selama hampir satu dasawarsa memimpin dan mengelola negara, banyak prestasi yang ditorehkan. Meskipun tentu saja selalu ada yang tidak memberi apresiasi atas kerja-kerja Jokowi. Dengan banyak “hiburan” yang disajikan oleh pemerintahan ini, rakyat cukup terbantu “melupakan” segala persoalan riil yang dihadapi. Bahkan pemerintah ini mampu melewati masa pandemi dengan cukup baik dibandingkan negara-negara lain di seluruh dunia.
Petruk Bukan Kantong Bolong
Sebagai harapan Joko Widodo diharapkan mampu “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Di sisi yang berlawanan, Joko Widodo dianggap sebagai “kantong bolong” sebuah perilaku yang menghamburkan dan menggunakan uang untuk diri pribadinya. Atau bahkan sering dianggap sebagai representasi pengelolaan negara yang seenaknya sendiri. Semua dijalankan tanpa memperhatikan aturan yang berlaku. Begitulah yang dirasakan oleh pihak oposisi.
Harapan Joko Widodo sebagai pengejawantahan Ratu Adil Herucokro tidak diamini oleh Fadli Zon, politisi Partai Gerindra yang sering bersikap oposisional terhadap pemerintah. Bahkan Fadli Zon menyindir Presiden Joko Widodo sebagai Ratu Kantong Bolong. Di akhir lima tahun kedua masa kepemimpinannya kesemrawutan itu muncul seolah dipandu dengan orkestrasi tertentu. Semrawut tetapi secara ajeg membentuk wacana yang tidak dapat dianggap sebagai sambil lalu semata. Beberapa sangat mengganggu karena bukan hanya tidak sesuai aturan yang ada tetapi juga bertentangan dengan konstitusi.
Mulai dari upaya memperpanjang masa jabatan, penundaan pemilu hingga masa jabatan presiden tiga periode. Pembengkokan semacam ini terus dilakukan dengan pembiaran yang berlarut-larut bahkan oleh pihak yang seharusnya berdiri tegak mengawal konstitusi. Presiden beberapa kali memang menolak ide-ide tersebut. Sayangnya penolakan itu tidak tegas dan eksplisit. Sehingga tafsir yang berkembang pun menjadi bermacam rupa. Memang dalam wahana demokrasi apa pun boleh dilontarkan sebagai sebuah ide dan gagasan, tetapi seharusnya itu pun adalah ide dan gagasan yang bertanggung jawab dan tidak merusak harapan sebagai bangsa.
Sekali lagi, Joko Widodo kembali dihadapkan pada pilihan untuk tetap menjadi Petruk sebagai punakawan yang mengasuh rakyat atau menjelma menjadi Ratu Kantong Bolong. Sebagai rakyat, kita tidak menemukan sosok Joko Widodo saat menjabat Walikota Solo satu dasawarsa sebelumnya. Kita bertanya-tanya apakah benar hal-hal semacam ini sungguh muncul dari pribadi Joko Widodo atau dari orang-orang sekelilingnya. Kita sadar sesungguhnya seseorang tidak dapat berlepas diri sepenuhnya dari lingkungan sekitar dan pergaulannya.
Membayangkan segala yang terjadi, maka kita tidak sedang mendapatkan Ratu Adil yang diharapkan oleh rakyat. Atau jangan-jangan periode ini hanyalah sebuah persiapan untuk mempersiapkan Ratu Adil yang sesungguhnya, seorang yang dilahirkan sebagai seorang pemimpin yang diharapkan rakyat. Sebuah muara dari keniscayaan yang tidak bisa dielakkan lagi. Kita jadi ingat ketika Petruk semakin menjadi-jadi, hanya Semar yang mampu meredakan dan mengembalikan Petruk seperti sediakala.
Semar membabar diri Petruk dengan berkata, “Ngger, kamu kira aku tidak mengenalmu? Kembalilah menjadi dirimu sendiri, menjadi kawula alit. Wis wayahe, sudah saatnya, berganti pemimpin terbaik pilihan rakyat.” Mungkin inilah akhir zaman edan itu, akhir zaman Kalatidha. Kita berharap Jokowi adalah Petruk bukan Kantong Bolong, seorang punakawan pamomong kawula alit.[]

Discussion about this post