Oleh M. Wiroguno
Barangkali Presiden Jokowi tidak pernah menyangka. Bahwa pidatonya, setelah Megawati Soekarnoputri menuntaskan monolognya dalam perayaan HUT ke-50 partai berlambang banteng itu, agaknya ditulis tanpa membayangkan suasana kebatinan yang sama dengan sang tuan rumah.
Sebagian publik, mungkin juga Jokowi, berharap kabar kejutan: pemimpin rambut putih segera diumumkan Mega. Minimal ada sinyal yang bisa ditangkap. Sebagaimana pidato Jokowi pada November tahun lalu (26/11/2022), yang disambut tempik sorak Relawan Nusantara Bersatu di stadion GBK.
Sebutan rambut putih terlontar dari mulut Jokowi kala itu, kontan jadi semiotika politik. Menggelinding jadi diskursus publik tentang dugaan calon presiden (capres) yang direstui Jokowi. Sebuah kode keras, menurut relawan. Suatu signifier (penanda), meminjam istilah Ferdinand De Saussure. Tak terelakkan, tafsir rambut putih mengerucut pada Ganjar Pranowo.
Seseorang yang ditunggu-tunggu. Bak mengharapkan phoenix muncul di ujung horison. Burung nan indah serupa merak, berbulu merah mencolok, berjambul putih. Bertemu Phoenix, dalam mitologi rakyat Tiongkok, adalah perlambang kekuasaan yang berjodoh dengan keabadian. Tahta yang berlanjut seakan sudah tampak di pelupuk mata.
Kontras Pidato Megawati dengan Jokowi.
Namun kenyataan berkata lain. Dalam pidatonya, Mega berkisah tentang jerih masa silam yang sarat luka membangun partai, sejak orde tentara. Sudah bisa dipastikan, dalam ceritanya itu, Mega juga teringat bapaknya.
Tak kuat terseret dalam kenangan, Mega pun membiarkan air matanya tumpah. Persisnya, tatkala ia mengingat Tasdi, mantan bupati Purbalingga. Saat berkuasa, putri Bung Karno itu salah seorang presiden yang dipandang berhasil menahkodai pemerintahannya: selamat dari amukan gelombang besar krisis moneter 1998. Reputasi itu, imbuhnya, tak luput jadi ganjaran oleh media luar negeri (CNBC).
Sementara itu, Jokowi membayangkan resesi ekonomi sudah di gerbang negeri. Usai menelepon Mentri Keuangannya, Jokowi menandaskan. Belasan negara sudah jadi pasien IMF per hari ini, sambungnya, dan ratusan negara sedang menunggu antrian. Berbeda dengan Mega, Jokowi baru akan menyongsong gelombang krisis ekonomi yang diramalkan begitu berbahaya. Namun tetap saja masih prediksi.
Tak kurang, Sri Mulyani, Luhut, dan pembantunya yang lain sering mengingatkan hal yang sama. “Hati-hati,” lanjutnya lagi, “saya tidak menakut-nakuti”. Entah kepada siapa. Bukankah Jokowi pengendali sumber kekuasaan yang menjadi mata air bagi hajat hidup orang banyak?
Mega menekankan keutamaan hak prerogatif ketua umum partai, dan karenanya, bila perlu ia rela melepas kader yang tak loyal. Sedangkan, Jokowi melaporkan kesuksesannya mengambil alih perusahaan tambang yang vital.
Mega risau sumber daya alam fosil, juga nikel, yang dieksploitasi terus menerus bakal memperparah kerusakan lingkungan. Karenanya, ia lantang menyerukan go green. Sebaliknya, Jokowi bersemangat menerangkan surplus pendapatan dari sektor tambang, terutama nikel, yang meraup keuntungan berlipat ganda.
Tegas pada Jokowi
Akhirnya, kejelasan tentang seseorang yang diharapkan itu pun tiba. Terucap terang dari lisan Mega: “Sekarang nungguin (pengumuman nama capres), enggak ada, ini urusan gue!”
Kendati pun begitu, Jokowi terlihat tak patah arang. “…dan saya senang sekali, tadi ketua umum bu Megawati Soekarnoputri menyampaikan… (kemudian mengambil jeda sejenak) bahwa calonnya adalah dari kader sendiri,” pungkasnya disusul tepuk tangan peserta. Tidak ada tempik sorak yang begitu membahana, sebagaimana biasanya.
Sedikitnya itu, di antara pernyataan Jokowi yang agaknya tidak tercantum di dalam teks. Tak banyak Improvisasi Jokowi dalam menanggapi Mega. Padahal, selain Ganjar, Jokowi juga paling banyak disindir. Salah satunya, yang banyak dikutip media: “…kalau sudah dua kali, ya maaf, ya dua kali.”
Jokowi berpidato setelah Mega. Namun gayung tak bersambut. Jokowi terlalu setia dengan naskahnya. Mega seolah bertepuk sebelah tangan. Tentu ia tak akan berkecil hati, karena ketegasan sikap menolak wacana tiga periode untuk perpanjangan kekuasaan presiden, menunjukkan Mega kukuh melampaui sekedar politisi. Meski partai berkuasa dan pemenang pemilu 2019, Mega memilih setia pada konstitusi.
Jokowi memang tidak sedang menunggu Godot. Sebuah metafora dari dramawan Samuel Beckett yang kerap dipakai untuk menampakkan lakon pada laku yang sia-sia. Mega tidak hanya enggan menyebutkan siapa jagoannya untuk bertarung di pemilihan presiden 2024, tapi juga mengirim kode keras kepada Ganjar. Siapa lagi, sosok kader PDI Perjuangan, yang digadang-gadang bakal jadi capres, selain Puan?
Kode itu cukup keras, yang bisa berdampak miring bagi Ganjar. Citra Ganjar yang mekar untuk elektabilitas capres selama ini, bisa saja layu sebelum berkembang. “…Kita diparingi loh sama Gusti Allah loh, bisa jadi begini loh. Jadi kalau saya dengan segala hormat saya, kalau ada anak buah yang sudah di dalam aturan partainya harus sampai tingkat pemecatan, saya teken, jreet,” tegas Mega meninggi. Hak prerogatif itu mutlak.
Bahkan tak sekali pun nama Ganjar disebut dalam pidato Mega. Harapan tentu masih ada. Karena tahapan pemilu untuk keharusan partai politik menetapkan capres masih lama. Sebab, politik itu dinamis.
Tapi, at the end of the day, mungkin hasilnya tetap sama. Yang diinginkan tak akan kunjung datang, jika berharap Ganjar akan dicalonkan PDI Perjuangan. Seumpuma menunggu Godot, bisa jadi sungguhan nasib Jokowi kelak. Bukan lagi ketemu Phoenix yang cuma tinggal hewan mitologi belaka.
Pasalnya, ada pertanyaan besar yang harus terjawab. Kenapa Megawati kali ini, menghabiskan durasi waktu yang lama untuk membahas isu perempuan sebagai sentral dari isi pidatonya? Menurut beberapa kalangan, pidato mega itu dinilai menguar aroma feminim yang kuat.
Perempuan Pemimpin.
Nyaris dua jam Mega berpidato. Kurang lebih, satu jam bolak balik menyoal perkara perempuan. Sangat kentara.
Secara garis besar Mega menguraikan. Perempuan mestinya maju bersama di era modern. Mega mengatakan setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan punya peluang yang sama. Mereka bebas untuk berbicara. Intinya, laki-laki dan perempuan haruslah duduk setara.
Flashback ke masa lalu, Mega menyinggung sejumlah pemimpin perempuan. Tak hanya berani, tapi mereka juga berhasil. Mulai dari Ratu Kalinyamat, Tribhuwana Tunggadewi, hingga pemimpin angkatan laut kerajaan Aceh, Laksamana Malahayati.
Berkaca dari sejarah itu, Mega menyerukan kader perempuan PDI Perjuangan harus siap bertempur dan memimpin. Tak hanya soal keikutsertaan mengisi segala lini kehidupan ekonomi di republik ini, Mega juga menegaskan keharusan perempuan memimpin dalam politik.
Sekali lagi, pemimpin politik. Bukankah puncak pimpinan di legislatif saat ini adalah anaknya sendiri, Puan Maharani? Tentu saja maksud Mega, tidak terkecuali pucuk pimpinan eksekutif: Presiden RI. Tidak berlebihan jika Mega mendambakan, terpilihnya perempuan jadi presiden lewat pemilihan langsung. Kenapa tidak? Toh, Mega sudah membuktikan berkali-kali bertarung di level itu. Kontestasi pemilihan presiden.
Walau bagaimana pun Mega tetaplah seorang ibu biasa. Wajar, jika ia juga merefleksikan segala pencapaiannya pada putrinya. Ketika menyebut Tribhuwana Tunggadewi selaku pemimpin perempuan di masa lalu, tentu celaka yang menganggap Mega tak paham dengan sejarah Majapahit itu.
Ya, Mega boleh jadi seumpama Gayatri yang kemudian memutuskan jadi pendeta bhikkhuni, demi menyukseskan putrinya menjadi pelanjut kuasa Majapahit. Seorang ratu. Menggantikan Jayanegara. Dan tragisnya, pemimpin yang sejatinya sudah kehilangan cinta rakyat, di jelang akhir masa kekuasaannya.
Kendati Mega terlihat tak keberatan menyebut dirinya ratu preman, sebagaimana intel polisi menjulukinya dulu saat “zaman bergolak”, toh, di luar partai, baik Mega ataupun Puan tetap saja berkompetisi bersama laki-laki dalam politik. Dengan mekanisme aturan yang sama. Toh, Mega telah meyakinkan publik, bahwa ia tegak lurus bersama konstitusi.
Negeri ini butuh simbol seperti Mega. Seorang perempuan tangguh yang berperan besar menutup era otoritarian dalam sejarah republik ini. Ia kemudian tidak saja menggembok tapi juga membuang kuncinya. Lebih dari itu, mega aktor utama yang membidani era reformasi. Membentuk common ground yang menjadi pengingat semua warga negara.
Satu-satunya perempuan yang pernah jadi presiden di republik indonesia adalah Mega. Sesuatu yang belum terjadi, bahkan di Amerika sendiri. Yang katanya negara biang demokrasi liberal. Belum pernah ada presiden perempuan terpilih di negara dengan ikon patung liberty, yang menggambarkan sosok feminim itu. Padahal, maknanya simbol kebebasan.
Ketika berbicara soal kesetaraan gender, Mega jelas bukan Simone de Beauvoir dengan The second Sex, atau Betty Friedan bersama The Feminine Mistique yang ikut memicu gelombang feminisme kedua di Amerika. Yang lantas menginspirasi seluruh dunia. Tapi, pencapaian Mega secara individu perempuan boleh jadi melebihi ekspetasi mereka.
Biarkanlah Mega tetap jadi Ketua Umum PDI Perjuangan, dan kelak mewariskan tampuk kepemimpinannya, berikut kitab konstitusi pada Puan Maharani. Teruslah ada partai politik, di mana perempuan seperti ratu dan sekaligus dengan citra keibuannya dalam memimpin. Selamat ulang tahun partainya yang ke-50, ibu Megawati Soekarnoputri.
Discussion about this post