Oleh. Cokro Abdikromo
PROLOG
Dalam khazanah kekuasaan Jawa di masa Majapahit, jaman krisis besar disuratkan dengan ungkapan “sirna ilang kertaning bumi”. Suatu masa di mana jaman kejayaan telah berlalu, kemakmuran hilang di muka bumi. Situasi masyarakat “gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem kerto raharjo” telah bubrah berantakan.
Pasca kekuasaan Majapahit, perputaran kekuasaan beralih ke era kerajaan Mataram Islam sejak berdirinya (1586) hingga perpecahannya menjadi empat raja Jawa (1757). Tidak seperti kebesaran leluhurnya Majapahit, selama kekuasaan Mataram, tanah Jawa tidak mampu lagi melahirkan seorang Ratu – sang pemimpin sejati yang mengasuh para penguasa dan menjaga bumi pertiwi. Sejak Raja pertama Panembahan Senopati hingga Pangeran Samber Nyawa, kekuasaan Jawa hanya melahirkan para raja dari kalangan klas ksatria hebat di medan perang.
Tanah Jawa memang tidak pernah kekurangan ksatria di setiap jamannya. Namun untuk mencapai suatu negeri yang maju dan besar, memerlukan lebih dari seorang ksatria, yakni membutuhkan seorang Ratu. Ketika rakyat dan bumi Jawa tidak mampu melahirkan seorang Ratu secara de facto, jangan harap negeri tersebut maju, adil dan makmur.
Syahdan pada tahun 1800-an, rakyat Jawa mengalami beban penderitaan hidup yang luar biasa hebat karena ditindas dan dieksploitasi oleh dua gunung beban, yakni dua kerajaan feodal Mataram dan kerajaan Belanda. Kemerosotan ekonomi, ketertundukan politik dan kehancuran martabat dan kebudayaan bersimaharaja di tanah Jawa.
Di tengah lautan penderitaan, satu saja kebijakan brengsek penguasa kolonial terjadi, maka pecahlah perang besar di tanah Jawa. Pangeran Diponegoro pada tahun 1825 ditakdirkan oleh sejarah penderitaan rakyat tampil sebagai ksatria pada waktu itu. Ia memimpin kaum tani, para santri, ulama, adipati, tumenggung, prajurit, termasuk barisan lumpen: brandal, gali, kecu, bromocorah hingga bajingan tengik untuk turut berperang.
Perang terbesar di tanah Jawa pada era kekuasaan Mataram tersebut berlangsung intensif selama 1825-1830. Perang paling menghancurkan di abad ke-18 karena memakan korban jiwa paling besar di kedua belah pihak, serta kerusakan ekonomi yang tidak hanya paling destruktif, namun berbuntut panjang bagi rakyat Jawa dan Nusantara.
Pihak penguasa kolonial, karena trauma dan lelah berperang dengan ksatria Jawa, dengan politik akal bulusnya, berhasil menangkap Diponegoro. Perang Jawa pun berakhir, menandai tanah Jawa yang menjadi pusatnya populasi, ekonomi, politik dan kebudayaan yang paling mengancam penguasa kolonial telah ditundukkan. Artinya, Jawa adalah kunci yang membukakan pintu penaklukan bagi pulau-pulau besar lainnya di Nusantara. Hingga abad ke-19, seluruh kekuasaan politik lokal di seluruh Nusantara telah bertekuk lutut di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Dari Kerajaan Kutai, Malaka, Deli, Indragiri, Jambi, Palembang, Banjar, Bali, Lombok, Makasar, Ternate, Tidore, hingga pulau Papua.
DIALOG
Pasca Perang Jawa, kerajaan feodal Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830-1834), memperlakukan rakyat Jawa seperti sapi perah melalui politik tanam paksa (cultuurstelsel). Belum pulih ekonomi dan kerusakan mental rakyat Jawa akibat kalah perang, nasib mereka kembali dibenamkan dalam rawa-rawa hitam penderitaan, diperbudak oleh kerja paksa dan tanam paksa. Peristiwa ini menyisakan mentalitas inlander (minderwaardigheidscomplex) yang dalam dan panjang bagi rakyat Jawa. Tak cukup waktu 100 tahun untuk memulihkannya.
Namun serusak-rusaknya kraton Mataram, tanah Jawa masih bisa melahirkan seorang pujangga, wakil intelektual yang bersaksi sebagai anak kandung jaman: Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873). Ia adalah berlian di tengah lumpur dan comberan kotor Mataram. Ronggowarsito berusia 16 tahun lebih tua dibandingkan Karl Marx (1818-1883). Namun bisa dikatakan keduanya hidup di jaman yang hampir sama.
Bila Karl Marx menghasilkan karya testimoni jaman berupa pamflet politik paling garang di tanah Eropa berjudul Manifesto Komunis (1848), Ronggowarsito membuat karya sastra tembang sinom 12 bait berjudul Serat Kalatida (1860). Bila dibandingkan kedua karya tersebut sama-sama menyuarakan situasi jamannya. Bila Karl Marx menjadi pujangga terbaik pasca keruntuhan feodalisme Eropa dan di masa awal kapitalisme Eropa, Ronggowarsito menjadi pujangga pamungkas pada masa feodalisme paling kelam di tanah Jawa.
Ronggowarsito adalah didikan para pujangga kraton Mataram Kasunanan, belajar juga pada para pujangga di Bali, Blambangan, selain berguru pada Imam Besari di pesantren Tegalsari, Ponorogo. Sedangkan Karl Marx, produk jaman pencerahan Barat, murid kritis pemikir besar Jerman, Frederick Hegel. Bila Karl Marx menjadi saksi hidup dari peristiwa besar Komune Paris (1871) yang mengguncang Eropa, Ronggowarsito bersaksi atas Perang Jawa (1825-1830) dan merasakan langsung penderitaan rakyat Jawa pada masa tanam paksa (1830-1870). Bila Karl Marx menggunakan metode berpikir materialism dialektika dan historis yang analitis dan deskriptif, Ronggowarsito menggunakan mata spiritual dalam bahasa simbol penuh kiasan makna khas Jawa. Tak usah repot-repot dipertentangkan, karena keduanya saling melengkapi. Satu tinjauan materialisme dan satunya lagi tinjauan spiritualisme.
Ronggowasito berbicara tentang situasi tanah Jawa yang mengalami jaman Kalatida (kebimbangan) hingga ditimpa kemalangan di jaman Kalabendu, yakni masa kekacauan besar di mana rakyat Jawa menderita lahir dan batin. Sebagai murid tak langsung dari Diponegoro, Ronggowarsito dapat dikatakan sebagai murid ideologisnya Diponegoro di front perang kebudayaan melawan kemerosotan kraton Mataram dan kezaliman penguasa kolonial.
Dalam 12 bait Serat Kalatida, Ronggowarsito bertutur:
”Keadaan negeri waktu sekarang sudah demikian merosot. Situasi telah rusak, karena hilangnya ketauladanan. Kebijaksanaan luhur telah ditinggalkan. Kaum cendekiawan kelu lidahnya tak bisa bicara karena terbawa arus kalatida (jaman kebimbangan). Suasananya mencekam karena dunia penuh penderitaan.
Rajanya sebenarnya raja yang baik, Patihnya juga baik, semua anak buah hatinya baik, pemuka-pemuka masyarakat baik, namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan. Oleh karena daya jaman Kalabendu. Bahkan penderitaan dan kesukaran makin menjadi-jadi. Lain orang lain pikiran dan maksudnya… Bila kita renungkan dengan jernih, apa sih sejatinya menjadi pemimpin, bila hanya membuat kesalahan-kesalahan saja. Lebih-lebih bila sudah lupa diri, hanya akan menciptakan kemalangan bagi rakyat banyak.
Bersaksi di jaman edan, memang serba repot. Mengikuti arus jaman tidak sampai hati, namun bila tidak ikut arus, tak mendapatkan bagian, kecuali derita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan, sebaik-baiknya orang lupa, masih lebih baik orang yang selalu ingat dan waspada.”
Menyerupai jaman Kalabendu, dunia sekarang belum benar-benar pulih dilanda pagebluk agung pandemi covid, di mana nyawa manusia demikian murah karena gampang lepas dari raga (megatruh). Kualitas hidup jatuh merosot, seiring suramnya harapan hidup. Tak berselang lama pandemi covid melanda, perang pecah di Ukraina yang menyeret dunia dalam gelombang resesi-stagflasi, yang melahirkan krisis energi, krisis pangan, krisis iklim dan krisis ekonomi secara umum. Kehidupan rakyat penuh marabahaya, hidup berdampingan dengan bencana alam dan kemiskinan, sangat dekat dengan penderitaan dan kematian.
Situasi jaman yang menuntut tanggung jawab moral, intelektual dan politik dari para pemimpin, rohaniawan, cendekiawan, seniman, politisi dan seluruh penggerak mesin gerinda perubahan. Mereka dan kita semua harus berpikir-bekerja lebih keras mencari jalan keluar.
Tak ada yang bisa membantah bahwa sistem kemasyarakatan dan seluruh institusi negara di dunia semakin keropos, rusak dan mandul. Berbagai institusi keilmuan di dunia pendidikan telah lama kehilangan daya cipta pemikiran baru yang cemerlang bagi keadilan dan kemajuan umat manusia. Tak terkecuali dunia spiritual, keagamaan dan kebudayaan. Turut memudar karena miskinnya ketauladanan hidup.
Inilah situasi senjakala dalam sistem kemasyarakatan Indonesia sebagai bagian dari jaman tua rentanya sistem masyarakat dunia.
Epilog
Tahun 2023 adalah tahun politik di Indonesia. Tahun pertarungan gagasan, kekuatan sosial, ekonomi dan politik bagi suksesi kekuasaan pada awal 2024 nanti. Tahun ini pula, gerakan sosial reformasi 1998 genap berusia 25 tahun. Gerakan reformasi 98 adalah koreksi besar atas kebangkrutan Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto yang memerintah selama 32 tahun dan terbukti gagal total. Gerakan 98 membawa capaian penting bagi demokratisasi politik di Indonesia. Salah satunya adalah pembatasan kekuasaan presiden selama dua periode dan pemilu langsung.
Selama hampir 20 tahun terakhir, rakyat Indonesia sudah merasakan dua periode presidensi SBY dan Joko Widodo. Banyak hal-hal baru telah terjadi, rupa-rupa kebijakan ekonomi, politik, kebudayaan yang telah ditempa dan dapat dinilai sendiri oleh rakyat Indonesia sebagai hakimnya. Banyak hal bagus yang dipropagandakan pemerintah yang berkuasa, namun sangat banyak penderitaan baru yang dirasakan rakyat Indonesia, khususnya mayoritas rakyat pekerja dari kalangan tani, nelayan, buruh industri, buruh migran, pedagang kecil, produsen kecil, hingga pekerja serabutan dari kalangan semi-proletariat.
Tak ada yang bisa membantah bahwa jaman sekarang adalah jaman krisis multi-dimensi, karena Indonesia terseret dalam arus Kalatida, maka memanen derita di jaman Kalabendu. Indonesia masih menjadi negara miskin dan bergantung, karena nyatanya masih terus meminta-minta pada kekuatan kapital asing sebagai dewa penyelamat dan penjaga pertumbuhan ekonominya.
Kepada seluruh penggerak gerinda perubahan di Indonesia, tak perlu bimbang ragu karena tak ada yang diperlukan selain berpikir dan bekerja untuk menyatakan manifesto perubahan. Karena rakyat Indonesia juga berhak keluar dari jaman Kalatida dan Kalabendu, menatap perubahan menyongsong jaman Kalasuba – jaman baru membumikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Discussion about this post