Oleh: Irfan Matdoan (Ketua Wilayah KMND Provinsi Maluku)
Babak pertama tahun politik dimulai saat 2023 berlangsung. Perbincangan politik terkait kandidat yang akan bersaing di pemilu 2024 mulai santer diperbincangkan dihadapan publik. Radio, Koran, Majalah, Televisi dan berita elektronik mulai dibanjiri tentang opini dari berbagai sumber terkait siapa saja pasangan calon Presiden dan Wakil presiden yang akan ikut berkontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan datang.
Momentum dalam menjemput pemilu 2024 yang akan datang merupakan tahun sarat kepentingan. Sehatnya pemilu tergantung isu yang berkembang. Hanya saja, problem musiman seringkali menghantui berjalanya pemilu yakni politik identitas.
Politik identitas adalah wacana sampah yang sengaja dirancang dan dibentuk oleh sebagian elit politik bahkan sampai pada pihak yang berkepentingan. Rancangan yang sengaja dibuat seolah merupakan bagian dari pada strategi suci untuk meraih kekuasaan, Termasuk di Maluku. Sebagai City Al-Mulk Kota Raja-raja yang sudah tentu memiliki adat dan budaya yang berbeda. Entitas ini diharapkan mampu membendung berkembangnya politik identitas saat pemilu berlangsung.
Terlebihnya, perkembangan teknologi melalui media sosial tak mampu memfilter informasi yang berkembang. sifatnya destruktif dan cepat menyabar. Sebagian besar di konsumsi oleh masyarakat tanpa memverifikasinya. Harusnya media sosial yang kita gunakan bisa dijadikan sebagai alat pemersatu.
Lebih ironis, Politik identitas bersembunyi di balik indahnya kata “Demokrasi” yang akhirnya memakan habis makna demokrasi itu sendiri.
Ditahun 2017 sampai 2019 misalnya, politik identitas telah menjadi kebiasan dan hal yang lumrah. Pemilihan Presiden 2019-2024 dengan dua kontestasi Jokowi-Ma’ruf serta Prabowo-Sandi kemudian tidak lupa juga pilkada DKI Jakarta tahun 2017 silam, sangat menyedot energi. Lanskap demokrasi kala itu sangat jelas dan kental dengan politik identitas.
Bukan hanya di Pulau Jawa bahkan eskalasi politik identitas serupa terjadi di Riau, Kalimantan dan bahkan di Timur Indonesia Maluku dan Papua. Kran Politik Identitas semakin kentara dan terasa sejak disahkan UUD NO 22 Tahun 1999 tentang kewenangan daerah dimana para elit politik daerah mulai membalut dan mempolitisasi identitas sebagai embrio kekuasaan.
Dengan demikian, organ yang konsen ke isu demokrasi harusnya bekerja lebih giat dan gesit. Salah satunya Kesatuan Mahasiswa Nusantara untuk Demokrasi (KMND). Sejatinya demokrasi tidak menolak perbedaan, sebab dari perbedaan maka sempurnalah persatuan dan keindahan pun akan terlihat. Kecaman terhadap politik identitas bukanlah satu-satunya tugas Kesatuan Mahasiswa Nusantara untuk Demokrasi (KMND), melainkan seluruh tugas anak bangsa. Aktor (elit politik) pun harus terlibat aktif, begitupun dengan masyarakat.
Discussion about this post