JAKARTA, 14/02/2023. Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) melaksanakan Rapat Dengan Pendapat (RDP) dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia (KemenkopUKM), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). RDP tersebut dipimpin langsung oleh Dra. Hj. Elviana, M.Si., Ketua Komite IV DPD RI, didampingi oleh Wakil Ketua Komite IV, Novita Anakotta, Sukiryanto, dan Abdul Hakim.
Dra. Hj. Elviana, M.Si, dalam kata sambutannya menyampaikan bahwa RDP ini dilaksanakan dalam rangka menjaring masukan dari berbagai pihak terkait dengan RUU Perubahan atas UU No. 1 tahun 2016 Tentang Penjaminan.
“Kegiatan penjaminan merupakan kegiatan pelindungan atas risiko kerugian yang mungkin terjadi, dimana risiko kerugian tersebut harus dapat diukur secara finansial,” ucap Senator dari Provinsi Jambi tersebut.
“Ada beberapa hal yang menjadi fokus Komite IV dalam kaitannya revisi UU Penjaminan seperti terkait penjaminan ulang syariah, peran koperasi di dalam penjaminan, kepemilikan asing, dan berbagai masalah lainnya,” jelas Dra. Hj. Elviana, M.Si.
Dalam kesempatan tersebut Dra. Hj. Elviana M.Si., menjelaskan; pertama, dalam Ketentuan Umum, pasal 1 angka 5, disebutkan bahwa Penjaminan Ulang Syariah adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan Syariah dan UUS. Sementara kita ketahui bahwa UUS sudah harus melakukan spin off di tahun 2023. Kedua, pasal 7 UU Penjaminan menyebutkan bahwa Badan hukum Lembaga Penjamin bisa berbentuk perusahaan umum; perseroan terbatas; atau koperasi. Namun sampai saat ini, peran koperasi di dalam penjaminan belum optimal; Ketiga, Pasal 9 ayat (2) UU Penjaminan menyebutkan bahwa Kepemilikan asing pada Lembaga Penjamin berbentuk badan hukum perseroan terbatas, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak sebesar 30% (tiga puluh per seratus) dari modal disetor; perlu direvieu kembali mengenai kepemilikan asing ini. Keempat, Keberadaan dan manfaat serta fungsi dari lembaga penjaminan belum well informed atau belum banyak diketahui oleh masyarakat daerah. Kelima, perkembangan teknologi dalam perekonomian yang terintegrasi akan semakin meningkatkan digitalisasi layangan keuangan, hal ini harus direspon oleh Lembaga penjamin sehingga diperlukan penyesuaian pelayanan dengan kemajuan teknologi digital.
Rully Nuryanto, Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro, Kemenkop dan UKM menyampaikan bahwa “Posisi UMKM sangat strategis sebagai tulang punggung perkenonomian nasional. Hal ini ditunjukkan oleh 99,9% total pelaku usaha di Indonesia merupakan UMKM. UMKM menyerap 96,9% tenaga kerja nasional. UMKM juga berkontribusi terhadap PDB nasional sebesar 61%,” ucap Rully.
Selanjutnya Rully menyampaikan bahwa selama Pandemi Covid 19, UMKM merupakan sektor usaha yang terdampak karena pandemi ini. 84% UMK mengalami penurunan pendapatan, lebih dari 80% mengalami penurunan permintaan, 42% memberhentikan pekerja, dan 48,6% UMKM di Indonesia terpaksa menutup usaha. Saat ini sebanyak 84,8% UMKM yang tadinya terpuruk selama pandemic Covid 19 sudah Kembali beroperasi normal.
“Pertumbuhan ekonomi kembali pulih pada triwulan IV tahun 2021, setelah sempat tertahan pada triwulan III tahun 2021. Pada triwulan IV tahun 2021, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0 persen atau setahun penuh sebesar 3,7 persen. Perekonomian tahun 2021 akan ditopang oleh pemulihan daya beli masyarakat, peningkatan investasi, dan peningkatan ekspor. Perekonomian Indonesia pada triwulan II 2022 (YoY) lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi, yang mengindikasikan pemulihan ekonomi yang terus berlanjut dan menguat,” ucap Rully.
Terkait dengan manfaat penjaminan bagi UMKM pertama, menunjang kebijakan pemerintah, terutama dalam rangka mendorong kemandirian usaha dan pemberdayaan dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dalam perekonomian nasional. Kedua, Meningkatkan akses bagi dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi dan usaha prospektif lainnya kepada sumber pembiayaan. Ketiga, Mendorong pertumbuhan pembiayaan dan terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan sektor ekonomi strategis.
Peran Lembaga penjamin kredit UMKM pertama, Sebagai lembaga untuk enabling UKM dalam mendapatkan plafon pinjaman yang sesuai dengan kebutuhannya. Kedua, Untuk memenuhi kekurangan nilai agunan (jaminan) UKM dalam rangka mendapatkan kredit dari perbankan.
Bagi UMKM keberadaan UU No.1 Tahun 2016, masih sangat relevan karena Untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya UMKM dan Koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan.
“Kami setuju dengan Komite IV agar UU ini disempurnakan, sesuai dengan perkembangan yang terjadi saat ini. Kementerian Koperasi dan UKM berharap jika DPD RI akan mengusulkan penyempurnaan undang-undang agar dapat melibatkan Kementerian Koperasi dan UKM,” ucap Rully.
Ridwan Nasution, Direktur Manajemen Strategis Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam RDP tersebut menyampaikan “Posisi LPS, mandate dan fungsi LPS dalam kerangka Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (“UU LPS”) Fungsi: penjaminan simpanan, resolusi bank, dan turut aktif dalam memelihara stabilitas perbankan,” jelas Ridwan.
Ridwan juga memaparkan bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”) Mandat dan Peran Baru dari UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK No. 9 Tahun 2016): Akses Lebih Awal ke Perbankan Dalam Rangka Resolusi (Early Access), Menjalankan Program Restrukturisasi Perbankan (PRP), Metode Baru Resolusi Bank: Purchase and Assumption, dan Bridge Bank, Pendanaan (Funding).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, LPS diberikan Kewenangan: Pertama, Persiapan dan peningkatan intensitas persiapan penanganan Bank. Kedua, Melakukan tindakan dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. Ketiga, Pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan BSBS yang gagal berdasarkan berbagai pertimbangan serta tidak hanya berdasarkan pertimbangan LCT. Keempat, Merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah serta besaran simpanan yang dijamin.
Selain itu, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dan Ketentuan mengenai lembaga penyelenggara program penjaminan, pendanaan, cakupan, dan besaran nilai penjaminan diatur dalam PP.
Terkait dengan rencana perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan, pada dasarnya LPS setuju dengan langkah-langkah Komite IV DPD RI untuk mengusulkan revisi UU Penjaminan agar bisa disesuaikan dengan situasi terkini.
Bambang W. Budiawan, Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan bahwa sampai 216 tidak banyak perubahan industry penjaminan daerah, karena sampai 2016 jumlah Jamkrida, terdapat 22 Perusahaan Penjaminan di Indonesia, yang terdiri dari 1 perusahaan penjaminan milik anak BUMN (PT Jamkrindo), 1 perusahaan penjaminan milik swasta, 2 perusahaan penjaminan syariah, dan 18 Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida).
“UMKM memiliki peran yang strategis dalam perekonomian, namun pengembangan UMKM masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam mengakses pendanaan dari lembaga keuangan. Salah satu cara untuk meningkatkan akses keuangan UMKM kepada lembaga keuangan adalah melalui sistem penjaminan kredit,” jelas Bambang.
Bambang menjelaskan beberapa kendala UMKM dalam pengajuan kredit adalah keterbatasan modal, tidak mempunyai laporan keuangan yang baik, manajemen bersifat kekeluargaan, keterbatasan teknologi, bahan baku, informasi dan pemasaran, infrastruktur, dan kemitraan. Keterbatasan modal antara lain disebabkan kesulitan mengakses sumber pembiayaan karena tidak mampu menyediakan agunan sehingga dinilai tidak bankable.
“OJK melakukan pengawasan terhadap perusahaan penjaminan saat ini merupakan pengawasan yang berorientasi pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan (compliance based supervision). Penawasan dilakukan secara off site supervision dengan Laporan bulanan disampaikan tiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya dan On Site Supervision dengan melakukan dengan cara melakukan pemeriksaan langsung untuk mendapatkan gambaran di lapangan,” papar Ridwan.
Tujuan Pemeriksaan: pertama untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi perusahaan; kedua, memperoleh keyakinan yang memadai mengenai kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan ke OJK; dan/atau ketiga menilai kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang penjaminan. (*)
Discussion about this post