Oleh: Ka’bati (Sekretaris Garnita Malahayati Sumbar/Direktur RKB)
Dalam masyarakat dimanapun itu selalu ada ‘imaji’ tertentu tentang perempuan yang mempengaruhi karakter dan tindakan perempuan. Namun tindakan dan pengaruh itu tidak selalu mutlak. Setiap orang punya daya untuk menolak atau mengambil seperlunya wacana yang berkembang karena setiap orang punya agensi (agency). Ini yang dikatakan Chandra Talpade Mohanty dalam bukunya Under Western Eyes dan ini juga yang menjadi alasan kenapa saya kemudian tertarik mengulas sebuah tulisan yang ditulis oleh Willy Aditya, Perempuan dan Pancasila yang merupakan lampiran dalam buku Pancasila di Rumahku (Populis;Oktober 2022)
Ada kerisauan yang diguratkan Willy lewat tulisannya tentang perempuan. Ketika Pancasila dimaknai dan ditafsirkan hanya oleh laki-laki, maka dominasi maskulin (male dominated discourses) akan terus berlangsung. Karena itu, perlu diberi ruang bagi perempuan untuk membangun narasi baru soal ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial. Dengan cara itu, diharapkan pemaknaan pancasila akan lebih terbuka bagi setiap warga negara.
Gagasan Willy dalam tulisannya itu jelas bermakna positif bagi gerakan feminism di Indonesia. Tidak banyak politisi yang benar-benar serius menunjukkan keberpihakannya terhadap kepentingan perempuan. Jauh sebelum Willy bersuara, pernah juga ada tokoh besar yang menggaungkan suara keadilan bagi perempuan Indonesia, Soekarno namanya. Bagi Soekarno, soal wanita adalah soal masyarakat. Karena itu dia menuangkan gagasannya penuh dalam satu buku berjudul Sarinah,
Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia.
Willy Aditya tidak hanya berhenti pada upaya melempar gagasan, dia kemudian juga memperjuangkan gagasan itu dan eksistensi perempuan di ruang publik melalui kekuatan negara. Sebagai politisi tentu saja hal ini dimungkinkan karena posisinya di lembaga legislatif. Seperti ditulis Agus Hernawan; Willy dan Politik Emansipasi Sarinah (Warta Politik, 28/1/2023), politisi Partai NasDem ini berjuang dan bertarung di Senayan, sehingga membuahkan hasil disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi UU. Kemudian pertarungannya di level legislasi dia lanjutkan dengan gigih memperjuangkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang kesemuanya itu berkaitan dengan upaya memuliakan perempuan sebagai warga yang sah di negeri ini. Sehingga Agus menyebut Willy sebagai Suara yang meneriakkan emansipasi. Karena pada suara itulah, menurut Agus, politik membangun virtualitas. Menjadi nafas dan jiwa Republik, tempat orang-orang mendirikan sheltering hope, tempat semua kita saling berbagi harapan dan tempat demokrasi tak pernah kehilangan horizon.
Pertanyaan besar saya kemudian adalah, kenapa Willy yang begitu gigih dan lantang melakukan perjuangan itu? Bukankah dipartainya ada lebih dari 30 persen keterwakilan perempuan? Hasil final Pemilu legislatif tahun 2019 lalu, NasDem berhasil mendudukkan 59 orang wakilnya di DPR RI dan 19 orang dari jumlah itu adalah perempuan (32 persen). Sementara total keseluruhan perempuan di parlemen RI tersebut adalah 118 dari 575 orang anggota dewan. Bahkan ketua nya juga perempuan. Kenyataan ini membuka celah baru untuk mendefinisikan lagi, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan feminis.
Bahwa, gerakan feminis bukan bermakna bergeraknya kaum perempuan untuk menuntut kesamaan hak. Feminis adalah seseorang (baik laki-laki atau perempuan) yang menyadari adanya persoalan pada perempuan lalu dia berupaya untuk menyelesaikan persoalan tersebut sehingga terciptalah kehidupan perempuan yang lebih baik. Dalam hal ini arti feminisme di KBBI sepertinya juga harus diubah dimana dalam kamus tersebut ditulis bahwa Feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Tanpa mengubah definisi itu Willy tidak bisa disebut sebagai pejuang feminism, toh dia seorang laki-laki, secara biologis.
Terlepas dari apa sebutan yang pantas untuknya, bagi saya upaya-upaya untuk membebaskan kaum perempuan dari kurungan ‘ideologi patriarkat’ dan hegemoni maskulin yang telah dirintis oleh Willy perlu diapresiasi dan didukung secara penuh. Gerakan yang dilakukannya menempatkan gagasan ini sebagai gerakan sosialisi, dimana kita tahu bahwa feminis sosialislah yang berasumsi bahwa penindasan terhadap perempuan itu sifatnya struktural dan yang diuntungkan oleh penindasan struktural itu adalah sistem patriarki.
Bagi Feminis sosialis, relasi kelas jelas adalah sistem penindas yang utama. Dalam hal ini bukan hanya laki-laki yang menindas perempuan tetapi penindasan terjadi juga antar sesama perempuan dari kelas sosial berbeda. Perempuan soleh akan menekan perempuan dari golongan yang dianggap ‘banyak dosa’, perempuan kelas menengah akan menindas perempuan pembantu rumahtangga. Inilah yang kemudian menjadi asumsi dasar mengapa gerakan feminis sosialis cenderung menggunakan negara untuk mengupayakan perlindungan bagi perempuan. Alasan ini juga kemudian yang bisa sedikit menjawab pertanyaan, kenapa Willy yang berjuang keras untuk melahirkan rangkaian UU yang memihak kepada perempuan. Bisa jadi walaupun secara kuantitatif jumlah perempuan yang sekarang duduk di parlemen cukup representatif namun untuk isu seperti perjuangan kelas ini mereka tidak kompak menyetujui karena bisa jadi (lagi) posisi sosial mereka yang menjadi penyebabnya.
Mekanisme partai, yang berpedoman pada UU No 12 tahun 2003 soal afirmasi politik dan keterwakilan 30 persen perempuan memang sudah berhasil mendorong tingkat keterwakilan perempuan di parlemen. Walaupun secara keseluruhan di DPR RI jumlah tersebut masih lebih rendah dari yang diharapkan (20,86 persen), namun jumlah itu sudah lebih baik secara kuantitas. Hanya saja yang perlu dipertanyakan adalah soal kualitasnya. Sampai hari ini, suara-suara vokal dari politisi perempuan itu belum terdengar dan belum nampak keperpihakannya secara gagah berani, terutama untuk kasus-kasus kesetaraan dan hak perempuan di ranah publik. Apakah mereka masih gamang, sedang belajar atau memang ada mekanisme perekrutan yang keliru?
Hasil riset dari Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (The Journalish.com) menyimpulkan bahwa politik kekerabatan dalam keterwakilan perempuan pada rekrutmen politik khususnya di Partai NasDem masih sangat subur. Dari 19 orang anggota legislatif perempuannya, 13 orang merupakan kerabat (istri, anak maupun menantu) dari pejabat lokal. Sementara 6 sisanya berlatar belakang pengusaha. Bisa jadi kelas sosial dari mana kelompok politisi perempuan ini berasallah yang membuat mereka menjadi berbeda dari Willy, misalnya.
Apapun kenyataannya, asumsi ini tetap harus diuji kebenarannya atau mungkin pula diubah kenyataannya untuk periode pemilihan berikutnya, dimana caleg yang diusulkan sebagai anggota perwakilan partai tidak berdasarkan kekerapatan tetapi berdasarkan gagasan dan sejalan dengan semangat perjuangan partai. Dan gagasan itu memang melekat pada dirinya, bukan dilekatkan kepadanya melalui dokrinasi dan pendidikan-pendidikan yang diberikan setelah perempuan tersebut dinyatakan lolos sebagai legislator. Kalaupun kemudian pilihan rasional memang melalui jalur kekerabatan itu maka yang perlu dilakukan oleh partai adalah memberdayakan keagensian yang ada pada politisi-politisi perempuan tersebut.
Menjemput pemikiran Chandra Talpade Mohanty soal agensi, sebagaimana saya sebutkan diawal tulisan ini, untuk kasus gerakan feminis di lingkaran partai politik, yang perlu disiasati adalah ketersediaan ruang imajinatif yang seluas-luasnya bagi perempuan untuk memaknai keberadaannya sebagai agen atau aktor sosial di parlemen. Membangun kesadaran ini serta memunculkan daya tersebut menghendaki juga kerelaan partai untuk menyediakan ruang komunikasi politik yang baik. Bukan relasi kuasa yang hegemonik.
Caranya dengan mempertajam analisis melalui serangkaian penelitian ilmiah (scientific Approach) dan mengajukan serangkaian pertanyaan; Dimana perempuan dalam situasi yang diselidiki? Jika hadir apa yang mereka kerjakan? Dan jika tidak hadir, kenapa? Lalu, bagaimana mereka menghadapi situasi itu? Apa konstribusi mereka? Apa artinya itu bagi mereka? Minimal, melalui serangkaian pertanyaan ini akan didapat gambaran ilmiah tentang keagensian perempuan dimaksud. Sehingga, walaupun pilihan perjuangannya mungkin berbeda tetapi suaranya ada. Keberpihakannya jelas. Dengan demikian, semoga untuk periode mendatang, Willy tidak berjuang sendiri.
Wallahua’lam bissawab
Discussion about this post