Siapakah tokoh yang sepanjang nyaris tiga dekade ini selalu jadi sampul depan pemberitaan? Seseorang yang seperti Bisma yang tak bisa dibunuh. Bisma bisa dilukai. Diserang Srikandi, titisan Dewi Amba. Dipasung puluhan panah Arjuna. Tapi Bisma menggenggam takdir kematiannya sendiri.
Tokoh itu adalah Prabowo, Letnan Jenderal TNI H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Prabowo banyak prestasi, juga kontroversi. Prajurit dalam arti sesungguhnya. Cakap mengokang senjata, juga piawai menggunakan pena. Pernah begitu dielukan, juga pernah sangat dipariakan.
Prabowo sudah ditempa untuk menjadi Bisma sejak usia belia. Masuk ke dalam situasi exile setelah PRRI ditumpas lewat operasi militer yang mengerikan. Setelah Era Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin runtuh, Prabowo lembali ke Tanah Air. Ia menjadi prajurit. Tangguh dan gagah. Idola generasi 70-80-an yang dipasung budaya militeristik Orba. Prabowo diambil mantu oleh Soeharto. Jaraknya untuk menjadi panglima tinggal lagi berapa hasta.
Roma boleh saja memiliki seorang Julius Cesar yang agung. Cesar sang penakluk, wiracarita Manusia Renaissance, tulis Federico Chabod dalam Il Rinascimento. Tapi, Cesar ambruk di bawah Patung Pompey. Berdarah. Ditikam Brutus dan puluhan senator Roma. Prabowo tidak. Ia terluka, tapi tidak pernah ambruk.
Peristiwa 98 hanya membawa Prabowo kembali dalam situasi “exile“ . Habibie dan Wiranto, dua nama ini di balik hancurnya karir 28 tahun di militer, tak membuat Prabowo menjadi Cesar di bawah Patung Pompey. Dimutasi dari Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) ke Komandan Sekolah Staf Komando (Dansesko) ABRI, lalu dipecat dari TNI, memang membuat Prabowo terluka, tapi tidak binasa.
Prabowo Orang Ikhlas
Probowo itu orang yang ikhlas. Perkataan Gus Dur ini ada benarnya. Wiranto, paling tidak, tiga kali “menikam” Prabowo. Tikaman itu tepat di titik kehormatan Prabowo, baik sebagai Panglima Kostrad, sebagai prajurit, maupun kiprahnya selaku politisi.
Pagi, selang sehari setelah Habibie dilantik menggantikan Soeharto, Wiranto membisikkan ke Habibie. Ada pergerakan liar pasukan Kostrad, tanpa sepengetahuan dirinya selaku Panglima ABRI. Mengepung kediaman Habibie di Kuningan dan Istana Negara.
Habibie, seperti diakuinya sendiri lewat buku buku Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006), tanpa mengecek terlebih dahulu ke Prabowo, langsung sepenuhnya percaya ke Wiranto dan meminta Wiranto mencopot Prabowo dari jabatan Pangkostrad.
“Sebelum matahari terbenam, Pangkostrad harus sudah diganti, dan kepada penggantinya diperintahkan agar semua pasukan di bawah komando Pangkostrad harus segera kembali ke basis kesatuan masing-masing,” perintah Presiden Habibie kepada Pangab Wiranto ketika itu.
Konflik Prabowo-Wiranto, seperti dirilis arsip rahasia diplomatik AS pada 11 Juli 2018, sudah terjadi sebelum kejatuhan Soeharto. Konflik yang agaknya tetap berlanjut—walaupun katanya sudah rekonsiliasi—setelah Habibe menggantikan Soeharto. Karenanya, bisa saja ada yang menduga “bisikan Wiranto” ke Habbie tidak berdiri sendiri ketika itu. Termasuk penegasan Wiranto, bahwa mantan anak buahnya itu berinisatif menghilangkan mahasiswa.
“Beliau terbukti terlibat dalam kasus penculikan,” kata Wiranto sela-sela kampanye Pilpres 2014. “Maka Dewan Kehormatan Perwira dari hasil penyelidikan kasus penculikan 1998 merekomendasikan Panglima Kostrad waktu itu diberhentikan dari dinas keprajuritan,” sebagaimana dikutip dari d.w.com (27.07.2018).
Setelah tidak lagi di militer, Prabowo terjung ke dunia politik. Prabowo akan kembali mengalami tikam demi tikam. Lagi-lagi, di awal karir politiknya, Prabowo harus berhadapan dengan Wiranto. Dalam Konvensi Partai Golkar 2004, Wiranto yang terpilih, Prabowo tersingkir. Wiranto maju sebagai Capres Golkar, berpasangan dengan Salahuddin Wahid. Namun, saat Wiranto ditusuk oleh seseorang yang entah siap, Prabowo datang menjenguk. “Beliau senior saya,” kata Prabowo di RSPAD Gatot Soebroto tahun 2019 lalu.
Peristiwa paling melekat di ingatan publik ialah keterkaitan Probowo dengan Jokowi. Prabowo adalah salah satu tokoh yang membawa Jokowi dari Solo. Konon, Prabowo juga yang ikut membiayai Jokowi maju di Pilgun DKI 2012. Pemenangan Jokowi di Pilgub DKI 2012 jadi bagian skenario pemenangan Prabowo dalam Pilpres 2014.
Skenario itu berpangkal di Perjanjian Batu Tulis antara Megawati dengan Prabowo. Pasal Ketujuh perjanjian itu jelas menyebut, bahwa Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai Calon Presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014.
Tapi, di 2014, Prabowo justru mendapat pengingkaran kembali. Jokowi maju sebagai Capres didukung Megawati dan PDI Perjuangan. Jokowi berhadap-hadapan dengan Prabowo pada Pilpres 2014. Jokowi Menang, Prabowo tumbang. Ini berulang di Pilpres 2019.
In war, you can only be killed once, but in politics, many times, ujar tentara yang jadi pemenang nobel sastra, Winston Churchill. Ungkapan ini cocok untuk Prabowo. Tapi, Prabowo bukan Cesar. Ia adalah Bisma. Sebab hanya Bisma yang tak pernah berdarah meski dilukai berkali-kali.
Pangeran yang bukan Raja
Prabowo adalah salah satu lakon utama di atas panggung politik lebih dua dekade ini. Bahkan, bisa lebih jika dihitung sejak memimpin operasi penangkapan Presiden/Perdana Menteri Fretilin, Nicolas dos Reis Lobata. Di saat para tokoh reformasi mulai sepuh dan menepi, Prabowo justru makin bersinar. Ia tetap berdiri tegak di atas panggung dan jadi sorot kamera media.
Bahkan, Jokowi dan istana, diakui atau tidak, saat ini, bergantung pada sosok Prabowo. Sejak tahun lalu, Projo sudah merapat ke Prabowo. Menyusul Jokowi Maniak—yang sebelumnya Ganjar Maniak. Kemesraan Jokowi dan Prabowo pun makin sering ditunjukkan, terakhir acara panen raya di Kebumen.
Jokowi menenteng Prabowo dan Ganjar. Bisa jadi, ini semacam pesan politik juga ke Tengku Umar dan Gondangdia. Keinginan Jokowi pada pelanjut bukan semata soal IKN dll. itu, tapi pada figur determinan dalam perpolitikan Indonesia ke depan. SBY gagal di situ. 10 tahun berkuasa, setelah itu hapus jejaknya.
Prabowo menangkap kehendak Jokowi itu. Dan, sepertinya siap menempatkan dirinya dalam peran itu. Peran yang membuat Jokowi tergantung padanya seperti di Pilgub DKI 2012 dulu. Waktu sedang diputar. Saat ini, Prabowo sudah menjelma jadi politisi ulung. Langkahnya susah ditebak.
Pilpres 2014 akan jadi “medan perang” penghabisan seorang Prabowo Subianto. Bisa jadi, apa yang dikatakan Gus Dur terbukti, kita akan memiliki presiden sepuh di tengah banjir Gen Y/Z. Namun, ada satu sebab yang mengikat Prabowo sulit melepas dari “takdir” Bisma, sang pangeran yang bukan raja.
Panah Bisma, konon tak sengaja, menancap di tubuh Dewi Amba. Dewi dari kota suci di tepi Sungai Gangga itu pun tewas, tapi kutuknya pada Bisma abadi. Mengikuti Bisma sampai gugur di Padang Kurusetra.
Saat penugasan pertama di Timur Leste—dulu masih bernama Timur-Timur, di Maret 1976, Prabowo menjadi Komandan Pleton Group I/Para Komando. Di usia masih 26 tahun, Prabowo jadi komandan pleton termuda. Pada penugasan kedua tahun 1978, Prabowo sudah diangkat jadi Komandan Kompi Nanggala 28. Kompi pimpinan Prabowo inilah, di bulan Desember 1978, dikabarkan menyergah rombongan Fretilin yang dipimpin Presiden Timur Leste, Nicolau dos Reis Lobato di Maubisse, kota kecil di selatan Dili. Dalam pertempuran di Lembah Mindelo, Nicolau dos Reis Lobato tertembak di dada—ada versi menyebut di perut.
Nama Labota diabadikan jadi nama bandara Internasional di Dili, Aeroporto Internacional Presidente Nicolau Lobato. Namun, buat rakyat Timur Leste, selalu ada kesedihan saat menemu nama Lobato di bandara itu. Bukan karena presiden mereka meninggal muda—di usi 37 tahun. Tapi, karena sampai kini, jasad Lobato tak kunjung ditemukan.
Memang bukan Prabowo yang menembak atau menghilangkan jasad Lobato. Tapi, Prabowo memimpin penyergapan Lobato, seorang presiden yang ingin tanah airnya merdeka.
Discussion about this post